Aku, Kamu, Mereka dan Alam

Aku, Kamu, Mereka dan Alam
Aku, Kamu, Mereka dan Alam... Pantai Gedong, 8 Maret 2011 bersama keluarga keduaku,,

Wednesday 23 February 2011

Sebuah Nama

Lida masih menatap pelangi yang menggantung di langit. Dia masih mengagumi keindahan ciptaan Tuhan yang satu ini. Matanya yang sayu memancarkan binar yang jarang sekali aku temukan saat bersamanya. Kami masih di sana, mengamati indah garis lengkung warna-warni sore itu.

"Indah ya.." aku hanya mengangguk. kembali aku dan dia sibuk dengan fikiran masing-masing tentang pelangi.

Aku menemukannya lagi. Kali ini di tempat yang sama saat kami melihat pelangi. Hujan masih turun memandikan rumput, pohon dan semua yang ada di atas bumi. Hening, hanya ada suara dentuman dan gemericik air. Aku duduk di sampingnya. Menemaninya lagi, memandang mata sayu itu lagi. Ah, mata itu kembali kehilangan sinarnya. Entah ke mana perginya binar keceriaan yang nampak saat kami memandang pelangi.

Lida pernah menyebut satu nama. Nama yang selalu jadi top list di setiap ceritanya. Nama yang dielu-elukan sebagai paling paling dan paling. Nama yang tanpa sadar selalu dia sebut saat bersamaku. Sebuah nama yang membuatku bosan mendengar ceritanya. Membuatku bisa menebak kemana arah pembicaraan ini bermuara. Nama yang kadang aku ingin sekali mengenal sang pemilik nama akibat cerita Lida. Sesekali ingin aku utarakan kebosananku mendengar nama itu, tapi segera kurungkan niat itu. Aku tak ingin binar di mata sayu itu hilang. Akan tetapi, saat melihat wajahnya muram aku juga tak tega. Ingin aku minta dia menghapus memori nama itu agar tak ada sirat sedih di wajahnya.

"Katakan saja.." pernah sesekali aku membisikkan kata itu pada Lida. Wajah bersih itu memerah dan bias rasa malu menghiasi. Mata itupun lagi-lagi tak bisa berbohong kalau dia malu dengan saranku.

"tidak.."jawabnya pelan. "Aku tak mau membuatnya berubah. Aku tak mau menghancurkannya." jawaban Lida hampir tak terdengar olehku. Lirih, ya dia mengucapkannya sangat lirih. Aku semakin penasaran. Merusak apanya Da? Yang ada juga kamu yang tergerus gara-gara kebanyakan mikirin dia, gumamku dalam hati.

Masih memandang hujan bersama Lida. Aku tahu dia menunggu guratan lengkung pelangi. Aku menengadah ke langit. Mendung masih tebal, langit masih meneteskan air matanya. Sepertinya pelangi masih lama datang. Aku mencoba membujuk Lida pergi, tapi sosok itu masih diam memandang langit. Apa yang kira-kira difikirannya, aku penasaran. Apakah masih tentang nama itu? Sudahlah aku lelah menungguinya. Aku meninggalkan Lida yang masih mematung mengagumi rintik hujan.

Malam ini aku kembali bersama Lida. Matanya berbinar-binar. Sudah lama rasanya aku tak melihat sinar mata itu. Penasaran akhirnya aku mendekatinya. Ternyata masih tentang nama itu. Meskipun sangat bosan aku mendengarkan ceritanya. Aku bisa menyimpulkannya. Cinta, ya Lida jatuh cinta. Jatuh cinta dengan sosok nama itu. Aku tertawa.

"Apa kataku,, sudah sekarang kan kamu tahu. katakan Da.." aku membujuknya. Tapi dia masih tetap ingin bungkam. Aku terheran-heran. "Susah sekali menasihatimu, jangan salahkan kalau nanti hatimu sakit Da," ucapku. 

Aku terbangun dari tidurku karena mendengar Lida sangat berisik pagi ini. "Tidak. Aku tak mau perasaan yang seperti ini bertahan lagi." aku mendengar Lida berkata lirih dalam doanya. Aku memandangnya, Lida begitu khusyuk sampai tak menyadari kehadiranku. Ah, pasti doa untuk nama itu, batinku. Kenapa tak kau katakan saja dan masalah selesai.

Akhirnya aku melihatnya. Sosok nama yang Lida elu-elukan. Aku memandangnya. Ah, apa hebatnya? pikirku. Dia terlalu biasa untuk dapat sebutan ganteng. Lida..Lida..

Pagi ini Lida bercerita kembali. Tapi kali ini bukan tentang nama itu. Aku menanyakan tentang dia. Lida hanya tersenyum. Dengan mantap dia bilang, "Aku sudah melupakannya" Aku tercengang. Secepat itukah? Lida tersenyum. Aku menatap matanya, ada sinar jujur di sana. Aku semakin tak mengerti. Untung aku tak pernah kenal dengan rasa yang bernama cinta. Rumit!

Malam ini tak sengaja aku membaca tulisan tangan Lida di buku yang dia tinggalkan dalam keadaan terbuka di mejanya. 
Untuk sebuah nama,
aku mencintaimu tapi aku lebih mencintai Tuhanku. Aku menyukaimu tapi aku yakin Allah akan lebih sayang padaMu. Aku mengharapkanmu tapi aku sangat yakin Allah lebih mengharapkanmu mendekat padaNya. Untuk itu, aku melepasmu. Melepasmu dari pikirku. Mengikhlaskan dan mengubur rasaku. Karena aku tahu Tuhanku tak pernah meninggalkanku. Masih akan ada pelangi setelah hujan. Aku percaya...
Aku  gagal!  Saat membaca tulisan ini aku merasa gagal. Sudahlah, masih ada Lida yang lain yang lebih mudah mendengar nasehatku. Aku pergi menembus dinding-dinding dan berkelana mencari Lida yang lain. Tentunya yang semakin mudah digoda.

 ***



1 comment:

MAO 55 said...

Untuk Sebuah Nama