Aku, Kamu, Mereka dan Alam

Aku, Kamu, Mereka dan Alam
Aku, Kamu, Mereka dan Alam... Pantai Gedong, 8 Maret 2011 bersama keluarga keduaku,,

Tuesday 8 February 2011

Andha

Akhirnya air mataku tumpah. Kertas di tanganku pun semakin kucel.

"Allahu rabbi,, apa yang harus aku lakukan?" gumamku.

Sementara itu hujan makin deras di luar sana. Akhirnya aku mengusap air mata dan maju ke depan menyerahkan kertas itu ke petugas dan kembali duduk di deretan tunggu.

"Nona Andhara" Aku mendengar namaku dipanggil. Aku menghampirinya, menerima kantong plastik dan bertanya berapa.

"Dua ratus empat puluh enam ribu Mbak," aku menilik dompetku. Astaghfirullah, tinggal tiga lembar seratus ribuan. Lalu dua puluh hari ke depan makan apa aku? aku menyerahkan isi dompetku dan bersegera memasukkan kembaliannya ke dalam dompet. Hujan sudah reda, ingin segera berbaring di kamar.

***
Aku suka taman ini, melihat orang-orang dengan berbagai ekspresi. Ada yang sibuk dengan bacaannya, ada yang sedang berdua dengan entah itu pacar atau pasangannya, ada yang sedang duduk sendiri tanpa ekspresi sepertiku.

"Boleh saya duduk di sini?" aku terkejut saat ada seorang lelaki yang tiba-tiba duduk di sampingku. Aku refleks memindah tasku ke pangkuan. Wajahnya sudah tak lagi muda. Tapi, berkas-berkas ketampanannya masih terlihat.

"dhewekan wae cah ayu?" dia kembali menanyaiku. Aku mengangguk pelan. Sebenarnya inilah aku, suka dengan kesendirian akhir-akhir ini.

"Saya Didik, rumah saya di ujung jalan sana. Saya sering melihat kamu duduk sendiri dan selalu di sini. Jadi saya penasaran." Aku tercekat. Ternyata ada juga yang memperhatikanku. Aku pikir aku adalah bagian tidak penting dari taman ini yang ga harus diperhatikan. Aku bingung harus menjawab apa.

"Nama saya Andha, Pak, Andhara. Saya suka melihat taman dari sini. Di sini view nya pas. Bisa liat anak TPA main, bisa liat orang pacaran, bisa liat pohon-pohon dan semua yang ada di taman." jawabku sekenanya.

Pak Didik tertawa, "Yo wis, tapi aja ngalamun ya nduk." Pak Didik berlalu meninggalkan aku dengan kesendirian lagi. Ah, sudah biasa. Kembali aku larut pada pikiranku.

Petang semakin tenggelam, bias warna merah berganti kelam. Dingin, aku merasakan tulangku tertusuk dingin udara, Tanganku merapatkan jaket. Sudah terlalu lama aku di sini. Mencoba berdiri dan berjalan pulang. Ah, rasa ini datang lagi. Jangan datang sekarang, pintaku. Setelah aku menemukan kamarku kau baru boleh datang. Aku berontak dan akhirnya berhasil menyeret kakiku pulang.

***

"Mbak Andha Mbak Andha,,," Alisa menarik lengan bajuku. Seperti biasa dengan nada manja khas anak kecil.

"Iya sayang?" Dia menunjuk gambar yang ada di bukuku. 

"Gambarnya bagus, Mbak." aku tersenyum. Ku ambil coretan pensilku yang kubuat semalam.

"Lisa mau?" gadis kecil itu mengangguk. Aku memberikannya.

"Lain kali mbak bikinin gambar buat Lisa." 

"aku, mbak??" suara Jojo mengagetkanku. 

"Aku juga mau." Feri ikut menambahi.

"Ya uda, ntar Mbak bikinin buat kalian." 

"Asyik,, asyiik,,,,!!" suara kecil mereka, suara yang selalu kurindukan..
***

Ku lirik HP yang sedari tadi bergetar. Ibu...
"Assalamu'alaykum, Bu.." aku sumringah mendengar suara orang paling kucintai di dunia.

"Piye nduk? sehat?" selalu saja beliau mengkhawatirkanku. Sekilas aku melirik bungkusan plastikku.

"Sehat, Bu.. Ibu, Mas kalih adik-adik pripun? Ibu ampun kecapekan.." kudengar Ibu bercerita tentang rumah, Iman, Ami yang bertumbuh semakin dewasa dan Mas Fadli yang mau wisuda. Juga tentang inovasi kue baru yang berhasil diciptakannya. Aku senang mendengar semua baik-baik saja.

"Ibu pasti capek ya?"

"Enggak Nduk,, kamu belajar yang bener ya. Kalo butuh uang bilang ke Ibu. Ibu kemarin abis dapet arisan." Aku merasa dilema. Ingin sekali aku punya keberanian bilang "Ibu aku butuh uang.." tapi...

"Uangnya ditabung buat dik Iman ma Ami aja Bu. Iman kan tahun ini masuk kuliah. Biaya kuliah kan mahal Bu." entah kenapa kata-kata ini begitu lancar keluar.Kembali aku melirik persendian tanganku yang memar kecoklatan. Tak apa Dha, aku meyakinkan diriku.

Setelah Ibu menutup pembicaraan, aku membanting diri di kasur. Aku melihat foto keluarga dan teman-temanku. "Mereka,," aku tersenyum. Seakan ada energi untuk melawan badanku yang makin payah. Ada foto laki-laki berwajah tampan di sudut mejaku. Aku mendekap foto itu.

"Bapak, sekarang Andha sudah dewasa Pak. Andha kangen Bapak.. Andha pengen ketemu Bapak.." air mataku mengalir.

Ingin rasanya aku berhenti sehari saja, tapi rasanya kau tak memberiku waktu beristirahat. Allah,, kuatkan aku...

***

"Andha meh ngendi dik?"

"Eh Mbak Ajeng, meh ning Magersari, Mbak." 

"Ketemu ma adik-adikmu itu tho?"

"Iya Mbak, hari ini mau ngajarin mereka baca, Mbak Ajeng mau ikut?" aku tersenyum pada kakak tingkatku yang biasa di panggil Ajeng itu.

"Ga deh Dha, bisa stres aku denger ocehan mereka. Yo wis ati-ati ya." ucap Mbak Ajeng sambil lalu.

Aku turun dari angkot dan menyusuri jalan setapak ini. Habis ujan jadi becek di mana-mana. Ah, kaos kakiku, aku merasakan resapan air di kain yang membalut kakiku. Kalau bukan karena kerinduan wajah-wajah polos mereka aku ga akan datang.

Ku lihat beberapa anak menyambutku dengan berlari. Alisa, Feri dan Jojo juga ada di sana. Seperti biasa ada energi lain yang mengisi semagatku. Aku sayang mereka. Aku harus bertahan!
***
Hari ini harusnya aku bertemu dengan Pak Bambang. Pak Bambang adalah dokter di rumah sakit tempat aku praktek. Ya, aku kuliah di keperawatan semester 5. Sudah mulai praktek dan menangani banyak pasien dengan berbagai penyakit. Aku sangat paham bagaimana rasanya menjadi mereka.Ingin sembuh! Ah, terkadang aku juga muak dengan rumah sakit.


Aku memandangi pesan d HP ku,

From: Dr Bambang
 08.00 am


Andha, kamu mesti segera di tangani. Biar Bapak yang bayar. Temui saya nanti di RS jam 1 siang.

Aku merenung. Rasanya di dadaku ada yang berperang antara mengiyakan dan menolak. Lama termenung, tanpa sadar jam sudah menunjuk angka 2. Pak Bambang, maaf sepertinya aku tidak bisa menerima kebaikan Bapak. Kepalaku berputar kembali.
 ***

Tengah malam ini aku menggelar sajadahku. Aku merasa sangat dekat dengan Tuhanku. "Allah,,," aku memulai pintaku. "Tak ada Yang Maha Kuasa selain Engkau. Pemilik hati dan kehidupan. Kuatkan hamba ya Rabb..." aku bersimpuh memasrahkan segalanya. Lama aku menangis. Di hadapan-Nya tak ada yang kurahasiakan. Tidak juga tentang keadaan diriku yang semakin rapuh. Lama ku mengadu pada Sang Khalik sampai akhirnya aku tertidur. Dalam tidurku aku melihat sosok yang aku rindukan selama ini. Dia mengulurkan tangannya. Aku mencium tangannya hikmad. Dia masih begitu bersahaja. Aku tersenyum sumringah.

"Bapak..."
***

Hari ini kulihat langit redup, entah ke mana sinar matahari. Aku menyakinkan diri agar tak ikut redup bersama matahari. Kulihat jam di tanganku, 12:45. Ah, aku belum sholat dzuhur. Kuajak Indri, sahabatku yang sedari tadi menemaniku berbincang untuk sholat jama'ah. 

"Dha, kok kamu kurusan akhir-akhir ini?" tanyanya saat berjalan ke mushalla.

"Ah ga Dri, perasaan kamu aja." aku tersenyum.

Kami mengambil air wudhu. Sekilas aku merasakan kedatangannya. Rasa sakit itu. Kepalaku berputar, perutku mual, darahku seakan mau lepas dari nadiku.Aku mulai merasa kehilangan keseimbangan. Allah,, rintihku. Aku berontak, "Jangan datang sekarang!", ucapku pada diriku sendiri.

"Dha, kamu ga papa tah? wajahmu pucat." Indri mengagetkanku. Aku menggeleng pelan. Segera membenahi lipatan baju dan jilbabku.
"Beneran?" kali ini kupaksa senyumku untuknya. Kemudian ku ajak dia segera ke mushalla dengan isyarat mata. Tapi,

"Andhaaaaaaa....." suara itu yang terakhir ku ingat. Gelap!
***

Andhara Fitriyani, begitu nama yang kuberikan pada putri semata wayangku. Dia lahir saat gema takbir kemenangan, 1 Syawal. Dia pelengkap rumahku, pembawa keceriaan di antara tiga jagoanku, Fadli, Iman dan Ami. Andha bisa menjadi kakak dan adik sekaligus. Dia bisa manja dan bisa jadi dewasa. Itulah mutiara kecilku yang kini telah beranjak dewasa.

"Bu, Andha kuliah ya?" pintanya setengah berbisik kepadaku.

"Dha, Ibu kan pernah bilang, pendidikan itu nomer satu. Kamu itu ya mesti kuliah tho nduk. Ga usah mikirin yang lain-lain." saat itu kulihat Andhaku murung.

"Duitnya Bu?" 

"Wis tho nduk, urusan duit serahin ke Ibu. Fadli dan kamu kuliah yang bener sampe wisuda, Iman dan Ami juga. Ibu ni masih kuat." Aku menjawab masih sambil mengecek kue-kue di oven. Ya, semenjak Herman, suamiku, meninggal 6 tahun yang lalu, aku harus menangani biaya hidupku dan keempat buah hatiku sendiri. Hampir semua aku coba, mulai dari catering makanan, sampai menjahit di samping pekerjaanku sebagai guru TK. Alhamdulillah, Allah masih mencukupkan hidup kami sampai sekarang. Dan aku beruntung empat mutiaraku tak pernah menyusahkan. Fadli selalu juara kelas, Andha sering menang lomba lukis dan cerita, Amin dan Ami selalu masuk kelas unggulan. Mereka seakan tahu untuk tidak menyusahkan Ibunya. 

"Andha yang antar kue-kue nya ya Bu?" Kata Andha sambil mengambil box-box kue di atas meja.

"Bu, besok donatnya di tambah ya? Kata temen Iman enak, jadi mereka pesan lagi besok."

"Ami besok bawa makan dari rumah aja Bu, biar Ami ga usah jajan. Kan sayang kalo harus boros jajan di luar."

Mereka sering membuatku terharu dengan celotehan mereka. Apalagi mengingat pembicaraanku dengan si sulung, Fadli kemarin.

"Bu, mulai bulan ini ndak usah kirim uang saku buat Fadli, alhamdulillah Fadli dapet beasiswanya. Lagian sekarang Fadli sudah ngasih les privat, lumayan sekali pertemuan 50.000. InsyaAllah cukup sebulan."

"Tapi kan kamu di bandung le? apa cukup?"

"InsyaAllah, Bu" mendengar jawabannya aku menangis. Terima Kasih ya Allah, Engkau memberikan mutiara-mutiara terbaik ini kepadaku. Aku sering menitikkan air mataku saat ingat bagaimana keempat buah hatiku begitu kuat dan semangat membantuku.

Saat Fadli sudah jauh merantau ke Bandung, Andha jadi kakak terbaik untuk adik-adiknya. Saat temen-temen SMA nya asyik menikmati masa remaja untuk belanja, nongkrong dan pacaran, dia malah menghabiskan waktu membantuku mengurus rumah dan usahaku. Ah, kalo Andha ga ada mungkin aku kelabakan. Saat dia harus pergi ke luar kota untuk kuliah, aku merasa sangat sulit melepasnya. "Andha kan kuliahnya ga jauh kayak Mas Fadli, Bu. 3 jam naik bus nyampe." hiburnya padaku.

Andha memutuskan mengambil keperawatan. "Aku mau nolong orang, Bu.." Selalu saja orang lain. Bidadariku ini sungguh berhati emas. Sejak SMA dia sudah akrab dengan kegiatan sosial baik di desa maupun di sekolahnya. Dan kini saat kuliahpun dia mengambil yang bisa bermanfaat bagi orang lain. "Ah, seandainya Ibu punya banyak uang pasti kau bisa masuk kedokteran Dha", batinku.

Sore itu Andha berpamitan. Aku mengantarnya ke terminal dan memeluknya erat. Tak ada pesan jaga diri, karena aku tahu Andha sangat tahu tentang hal itu.
***

Fadli sudah mau lulus, sedang Andha kini ada di semester 5. Andha jarang pulang tidak seperti teman-temannya yang seminggu sekali pasti pulang. Bukan karena dia tidak kangen dengan rumah, tapi lebih pada dia mengusahakan agar dia tidak boros. "Sayangkan Bu kalau uangnya habis hanya untuk transportasi. Mending ditabung buat keperluan sehari-hari dan biaya adik.", ujarnya. Aku sendiri percaya dengan anak-anakku. Saat Andha dan Fadli jauh pasti kebaikan tetap meliputi mereka. Seperti Andha yang setiap hari Minggu dia mengajar anak-anak jalanan yang putus sekolah. Aku bisa menebaknya, dengan Andha yang pintar menggambar dan bercerita, dia akan sangat disukai anak-anak.

Sebulan yang lalu Andha pulang. Dia mencium tanganku dan tersenyum. Sekarang gadis kecilku sudah tumbuh, semakin cantik. Wajahnya yang putih terlihat sedikit pucat, ah mungkin karena perjalanan jauh batinku. Pandanganku jatuh pada rok dan baju anakku. Ah, ibu macam apa aku ini. Dan saat itu aku berniat menjahit baju baru untuk anakku tersayang.

Setelah mandi Andha langsung bercengkrama bersama Iman dan Ami. Menanyai mereka tentang sekolah dan obrolan kecil lain.

"Mbak, Iman mau masuk jurusan matematika kayak Mas Fadli." Andha meladeni curhat adik-adiknya. Aku yakin, Andha pasti capek, tapi begitulah Andha, dia tak mau kesempatan pulang yang cuma sebentar terlewat begitu saja. Saat aku nasehati agar dia istirahat dulu, Andha hanya menjawab ringan, "Ibu ini gimana, kan Andha jarang-jarang bisa ngobrol ma dik Iman dan Ami. Belum tentu kan Andha punya kesempatan kayak gini lagi." Aku sendiri tak ambil pusing apa yang dikatakannya saat itu.

"Kamu kurusan nduk.." ucapku waktu kami makan. 

"Mbok ya kamu tuh makannya yang bener di sana. Ibu ga mau anak Ibu jadi kurus begini." Andha tersenyum.

"Kamu ga sakit kan?" 

"Engga kok Bu.. Ibu ga usah khawatir." jawabnya singkat.

Andha sama seperti Fadli, tak pernah mengeluh dengan uang saku bulanan yang aku kirim. Jangankan mengeluh, minta tambah saja tidak. Mereka selalu bilang ini sudah lebih dari cukup. Dan salahku, aku tak pernah memastikannya. Aku terlalu percaya bahwa anak-anakku baik-baik saja. Aku sadar setelah telepon siang ini. Seperti disambar petir, aku lemas. Rasanya tenagaku hilang tak berbekas.
***

"Sabar ya, Bu..." orang-orang menyalamiku dan anak-anakku.

Aku termenung. Andha ada di sana. Dia terlihat cantik dengan senyum simpulnya. Dengan baju putihnya dia masih tampak anggun. Aku memeluknya. Ya, mungkin ini terakhir kali aku bisa memeluknya.

"Bu, Andha mau diberangkatkan..." Fadli berbisik kepadaku.

Air mata yang sedari tadi tertahan langsung mengalir seperti aliran sungai. Aku melihat sosoknya yang tak lagi nampak tertutup penutup keranda. Andha kecilku kini sudah pergi. Iman dan Ami memelukku. Seakan memberiku energi untuk berdiri. 

"Bu, Andha pengen bikin rumah belajar gratis, Andha juga mau naik haji bareng Ibu, Mas Fadli, Iman dan Ami..." ucapan Andha terngiang-ngiang di telingaku. 

"Andhaaa........." rintihku. Seberkas penyesalan datang. Kenapa kau tidak pernah cerita kalau kau sakit nak? Kenapa kau tak berbagi rasa sakitmu pada Ibu? Dan kenapa aku tak tahu kalau bidadari kecilku tergerogoti leukimia? Ibu macam apa aku ini. Tiba-tiba berjuta tanya kenapa mampir ke otakku. 

"Andhaaaa......" nama itu terdengar di sela isakan tangisku. Iman memelukku. Aku memandang kau pergi. 

Andhara Fitriyani, 
Anak Ibu yang sholihah,, Ibu yakin kau sudah berada di tempat terbaik bersama orang-orang terbaik. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un...

Aku melirik baju terusan warna biru yang baru selesai kujahit untuknya. "Nak, kau belum sempat mencobanya..." ucapku lirih
***

8 Februari 2011
di sela rintik hujan bulan Februari

9 comments:

Annisa D. R. said...

kereeeen, Mbak...! ^_^b

gitawiryawan said...

serem za,
ceritanya bikin merinding..
hehehe.
ini original?

Ny. Auliya said...

nisa: makasih ^^

gita: aku aja ngeri..
original gimane bang??

gitawiryawan said...

ya maksudnya itu tulisanmu sendiri atau tulisan orang?

Ny. Auliya said...

tulisan aku ndiri,, gara2 kemarin ujan seharian ga keluar ga ada kerjaan..
Tulisan iseng Git,,

gitawiryawan said...

Uwuw mantap za..
Iseng aja bisa bikin gitu. kalo aku nulis butuh banyak energi, itu aja masih jelek..
Coba ada pilihan "like", pasti aku like nih tulisan :D

Ny. Auliya said...

di rating aja kakak.. hehe

tapi aku ga bisa bikin tulisan bentuk essay.. aku juga suka tulisan gita kok,, yang tentang kemerdekaan kemarin bagus..

siswanto said...

bagus sekali nih....

Ny. Auliya said...

terima kasih mas.. :)