Aku, Kamu, Mereka dan Alam

Aku, Kamu, Mereka dan Alam
Aku, Kamu, Mereka dan Alam... Pantai Gedong, 8 Maret 2011 bersama keluarga keduaku,,

Sunday 20 February 2011

Maaf

29 Ramadhan 1431 H

Hari ini Ibu memergoki aku menangis di kamar. Dengan HP yang masih kugenggam erat dan bantal yang semakin basah dengan air mata. Tanpa ada sepatah kata pun, beliau hanya duduk dan meraih HP ku. Membaca sekilas dan akhirnya menyalakan kipas angin. Siang itu memang terik sekali. Seandainya tidak puasa sudah pasti beliau akan mengambilkan air dingin untukku. Sejenak hening. Aku tak berani berkata apalagi menatap wajahnya. Beliau masih duduk di pinggir kasur. Menemaniku yang semakin menjadi dalam isak. Ya, sekali lagi tanpa suara.

Satu jam aku tenggelam dalam tangis. Aku sendiri sangat tidak menyangka kalau akan sedahsyat ini efeknya. Apa karena ini baru pertama kalinya aku mengalami yang seperti ini. Mataku sembam. Aku bisa merasakan hidungku penuh cairan. Aku capek! Ya, itu mungkin akumulasi dari kekesalan dan refleksi dari sakitnya benda yang bernama hati.
Aku melirik Ibu. Ya, beliau masih di tempat yang sama. Kali ini aku berani memandang wajahnya. Teduh. Beliau ada di sana dengan mukena dan mushaf hijau kesayangan yang beliau beli di Makkah. Entah sudah berapa lembar yang beliau baca sedari tadi. Alunan ayat suci yang indah. Aku menyandarkan kepala di bahunya. Dan tanpa sadar aku meleleh lagi. Kembali terusik dengan apa yang tadi kubaca.

"Wis sholat durung? Wudhu, sholat trus ngaji." ucap Ibu datar, hampir tidak ada ekspresi khawatir terhadap anak perempuannya yang dari tadi menangis sesegukan. Aku menuruti perintahnya. Air di kran ini sangat segar. Kugelar sajadah di samping Ibu. Sholat 4 rakaat dan mengambil mushaf. Ibu sudah hampir menyelesaikan bacaannya. Kudengar sekilas tadi sudah sampai At Thariq, berarti sebentar lagi khatam 30 juz. Kulihat pembatas mushafku, payah! Aku sendiri masih tertahan di juz 26. Dan untuk sampai di angka 30 mungkin tidak malam ini. Payah sekali! Aku memulai bacaanku, bismillaahirrahmaanirrahiim...

Adzan maghrib kali ini sungguh berbeda. Aku menatap es buahku dengan haru. Ibu sendiri sedari tadi mengusap air mata yang coba ia sembunyikan. Bapak seperti biasa meminum teh panasnya dan segera mengambil wudhu. Mas Imam, kakak pertama ku masih di kamar sedang Mas Tian, kakak keduaku, menghabiskan ramadhan terakhirnya dengan Mbak Asri, istrinya.

"Es kuwi di maem ora di pentelengi!" ucapan Ibu membuyarkan konsentrasiku. Ah benar. Sudah berapa lama aku tenggelam bersama lamunanku. "Age ndang di maem! Wis di enteni Bapak. Jamaah.." kemudian aku mendengar suara serak beliau memanggil kedua kakakku dan mbak Asri untuk jamaah bersama.

Aku mencium tangan Ibu, "pangapunten Bu.." aku merasakan tangan Ibu membelaiku perlahan kemudian mencium pipiku kiri kanan. Aku benar-benar meleleh. Akhirnya aku bercerita kepada Ibu malam itu. Diringi gema takbir dan pujian di setiap masjid bahkan gang rumah. "Aku sakit hati.." itulah gambaran jujur hatiku yang seakan disilet membaca apa yang diungkapkan sahabatku siang tadi. 

"Masih pantaskah aku ini disebut teman bu? sedang sahabat yang aku anggap saudara sendiri bisa mengataiku seperti itu. Dia sudah menutup hatinya. Bahkan kata maaf ku pun dibalas dengan kata sudahlah ga guna! kamu kan selalu benar! aku ga akan nerima permintaan maafmu!" Astaghfirullah... aku menghela nafas sejenak. "aku takut Bu,, takut kalau ternyata di akhirat nanti banyak yang menghujatku seperti dia menghujatku. aku takut..." tangisku meledak.

Ibu memegang tanganku. " Wis! Ga usah di tangisi! Kanca ga muk siji. Nek ga dimaafke yo wis. ikhlaske nduk, Gusti Allah mboten sare kanggo reti endi sing bener. Ga usah ngemis-ngemis! Ibu ga rela kuwe ngemis-ngemis demi maaf sing durung mesti kuwe salah! Ga usah sampe sujud ning sikile wong sing nganggep kene rendah! sujud ki cuma ning hadepane Allah.. Wis! Ibu ga pengen anakku nangis maneh gara-gara masalah iki."  

Aku tersentak. Aku tidak menyangka Ibuku bisa setegas ini. Yang aku tahu Ibuku adalah orang yang lembut dan paling tidak mau aku punya masalah dengan teman-temanku. Tapi kali ini ucapan beliau bernada emosi. Ternyata semua Ibu sama. Tak rela jika anak kesayangannya di jatuhkan. Ibu...sungguh aku hanya ingin membagi beban, bukan menebar kebencian. Aku sedikit menyesal. 

Malam ini, aku putuskan mengirim sms lagi, "maaf..." hanya satu kata itu, semoga mewakili ketulusanku, sabahatku. Ah seandainya waktu masih bisa berputar balik. Aku pasti akan memelukmu erat dan ga akan pernah melepasnya agar jarak kita tak sejauh ini. Aku akan menjaga hatimu agar tak tergores sedalam ini. Agar tak ada sakit akibat ulahku. Jika, jika dan jika....

Ah, sahabatku...

***

2 comments:

heri said...

pites ae,,,,kne tak pites e

Ny. Auliya said...

kuwi fiksi mas nya.. Kan cerpen..

Lupa ya harusnya dikasih tulisan,
maaf apabila ada nama, karakter atau bahkan tanggal yang sama, tulisan ini hanya fiksi semata. ^^