Aku, Kamu, Mereka dan Alam

Aku, Kamu, Mereka dan Alam
Aku, Kamu, Mereka dan Alam... Pantai Gedong, 8 Maret 2011 bersama keluarga keduaku,,

Tuesday 29 March 2011

Perhiasan yang Terbaik (Baca: Tercantik)


Lucuuuuuuu,,, itulah kata yang terucap saat dapet kiriman MMS foto di atas dari masku. Pengen meluk tapi ga bisalah kan jaraknya berpuluh-puluh kilometer. sabar.. Ya, Mei nanti pas pulang kan bisa sepuasnya meluk. :)
27 Maret 2011, alhamdulillah Allah menggenapkan nikmat pada keluarga besarku. Masku resmi jadi ayah, Mbakku resmi jadi Ibu, Bapak Ibuku resmi jadi Eyang dan aku resmi jadi tante hahaa.. Bayi mungil ini menggenapkan kebahagiaan kami. Lahir sehat insyaAllah tanpa cacat apapun plus bonus cantik banget. Kalo ga percaya lihat foto di bawah..


Cantik kan??? Rambutnya yang itam lebat bikin ngiri. Idungnya juga.. Ah, nak kau cantik sekali,, tante pengen meluk :)
Dan Bapakku memberi dia nama Perhiasan yang Terbaik (baca: tercantik). Pas banget kan?? Aku bisa pastikan tidak ada yang lebih membahagiakan keluargaku selain titipan dari Allah yang satu ini. Terima kasih ya Allah,, alhamdulillah atas segala anugerah-Mu.

Teriring doa untukmu Dedek cantik,, Husna sayang, semoga jadi anak yang sholihah, membanggakan kedua orang tua dan bisa mengangkat mereka ke surga, bermanfaat bagi semua orang, selalu menjadi lilin penerang bagi sekitar.. Tumbuhlah menjadi seorang gadis yang cantik, cerdas, beriman, sholihah, kebanggaan kami semua.. Dan seperti namamu semoga kau adalah wanita sholihah yang menjadi sebaik-baiknya perhiasan dunia.. amiin

Sunday 27 March 2011

Nge-GEJE Malem-Malem Part II

wanna be....
 
RIGHT PEOPLE IN THE RIGHT TIME AND RIGHT PLACE


and wanna you to be like that!

don't think that every people have the same will like you..
beda tubuh, beda otak, beda pemikiran..
dan pastinya akan ada beda pendapat..

Friday 25 March 2011

KOTAK

Aku masih mematung di tepi pantai ini. Memandang horison langit yang memerah dan akan berganti gelap. Aku masih bisa mengingat senyum simpul itu. Senyum yang tak akan pernah kulupakan. Senyum yang menjadi alasan aku selalu menyempatkan soreku untuknya. Senyum dari seorang yang aku sendiri tak tahu aku membencinya atau sebaliknya. Seingatku, aku lebih dari hormat padanya.
Deburan ombak di pantai ini mengingatkanku pada sore itu saat aku pertama kali melihatnya. Orang yang tak pernah kupandang dan kukenal padahal dia selalu ada di sekitarku. Terkadang memang benar apa kata orang, kita hanya melihat apa yang ingin kita lihat. Mata dan fikiran kita hanya mencerna apa yang kita kenal. Dan seperti itulah, dulu dia hanya bagian kecil yang tidak penting atau semacam peran figuran yang hanya numpang lewat. Sampai akhirnya, sore itu aku tak sengaja mengenalnya. Aku tak sengaja tahu namanya. Aku tak sengaja melihat senyumnya. Dan aku tak sengaja jatuh hati padanya.
Pikiranku menolak tapi hatiku berkata lain. Terlalu sulit melewatkan senyumnya. Aku sering mengutuki hatiku yang berharap melihat pemilik senyum itu. Walaupun sudah melawan tapi akhirnya aku menyerah. Setiap sore aku mencuri menit dari sang waktu untuk sedikit melihat sosoknya. Hanya untuk memastikan dia baik-baik saja. Tanpa perlu mendekat apalagi menyapanya. Aku tak berani.
Mungkin benar, aku sudah gila. Setiap sore menghentikan waktu, mencuri detik-detik agar bisa melihatnya. Setelah itu barulah aku kembali acuh dan berjalan sebagaimana biasa. Aku tak tahu peranku di potret hidupnya. Mungkin aku hanya figuran yang numpang lewat atau bahkan tak terlihat oleh matanya seperti halnya unidentified object. Dan aku sungguh tak ingin tahu posisiku. Cukup dengan aku melihat senyumnya setiap sore.
Sore itu, aku tahu kalau aku bukan makhluk tak dikenal baginya. Dia tahu namaku. Aku sendiri tak tahu dari siapa dia mengenalku karena aku tak pernah memperkenalkan diriku. Yang penting aku kini tahu bahwa aku bisa jadi figuran yang diingat otaknya bukan sekadar sebagai peran orang lewat yang tak dikenal. Dan entah kenapa sore itu senyumku tak berhenti sampai malam tiba. Dan senyumku membawa nama itu ke dalam perbincangan malamku dengan Tuhan. Di dalam ceritaku pada Tuhan, aku menyematkan cerita tentangnya. Ini pertama kalinya aku berani bercerita pada Tuhan tentangnya. tentang senyumnya. Padahal aku tahu, sangat tahu bahwa tanpa aku bercerita pun Tuhan tahu isi kepala dan hatiku.
Aku pulang saat hari sudah benar-benar gelap. Ibu pasti marah padaku. Seperti kemarin beliau marah saat aku menggosongkan telur goreng buat kakekku. Aku melirik jam tangan, pasti sudah maghrib. Pantai sepi, hanya tinggal bapak-bapak yang sibuk membereskan roda-roda sewaan seperti halnya aku yang sibuk membereskan kepingan ingatanku tentang dia.
Dalam perjalanan pulang kali ini aku benar-benar mengemasi kenangan tentangnya. Memasukkan satu per satu memori ke dalam kotak kecil ini untuk dikunci dan tak pernah dibuka lagi. Tapi, salahkah kalau dalam perjalanan ini aku mau memutar sekali lagi memori itu sebelum semuanya aku relakan pergi. Ah, tak ada salahnya batinku. Pikiranku melayang kembali ke sosoknya. Kata seorang teman dekatku, setiap orang yang bisa melihat pasti tahu sorot mataku untuknya. Tapi benarkah? Padahal aku sudah menutupnya rapat. Tapi memang benar walau aku tak pernah berbincang dengannya, sorot mataku tak bisa berbohong.
Aku takut. Aku semakin takut dengan perasaanku. Aku mencari berbagai cara memperbaiki sikap dan hatiku. Aku tak ingin orang tahu senyumku untuknya. Walau terkadang diriku refleks mencuri pandang padanya. Aku takut dan hanya Tuhan yang tahu betapa takutnya aku. Perasaan ini semakin rumit. Hatiku sakit saat harus bercerita pada Tuhan tentang rasa rakutku. Mungkin Tuhan cemburu akan sikapku, makanya Tuhan memberikan rasa sakit tanpa sebab seperti ini.
Aku berusaha menghindar darinya terus menghindar dan mencoba tak peduli dengan kehadirannya. Susah memang, tapi aku yakin bisa. Aku memunculkan sendiri persepsi buruk tentangnya, bukan maksud menjelekkan tapi aku ingin mengusirnya. Sementara cara ini sangat berhasil. Aku tak lagi memandangnya. Aku tak lagi melihatnya. Aku sudah mulai lupa sosoknya. Tapi ternyata aku salah, rasa itu ternyata menimbun semakin menggunung sampai akhirnya aku tak bisa lagi membedakan nyata dan mimpi. Membedakan kenangan yang nyata dan kenangan yang hanya hidup di ingatanku. Aku pikir kini aku semakin gila.
Bukan ingin menyalahkan, tapi aku benci sore itu. Aku benci kenapa sore itu mempertemukanku dengannya. Dan aku mengutuki mataku yang menangkap senyum simpul itu.
“Kita itu boleh berharap, bagi Allah kan ndak ada suatu hal yang susah tho.” Itu kata seorang temanku. Tapi aku merasa berharap pada kesemuan. Kadang, aku ingin bertanya “adakah aku di mimpimu?” Aku benar-benar seperti orang bodoh yang bertanya pada bayangan di dinding. Dalam sepi aku mengalunkan senandung memanggil nama yang tak bisa digapai. Apalagi menggapai, menyapa saja aku tak mampu. Dan aku masih saja membisikkan cerita pada Tuhan tentang bayangnya.
Aku ingin terlempar dan amnesia hingga semua sosoknya hilang. Meskipun jujur, aku tak pernah lagi melihatnya sekarang. Aku sungguh tak berani melihat sosoknya sekarang. Sungguh.
Sekarang setelah lama aku menghindar darinya, aku ingin membebaskan semuanya. Aku ingin mengemasi semuanya. Setelah ini tak ada lagi ceritaku pada Tuhan tentangnya. Aku tahu Tuhan pasti bosan mendengar keluh kesahku tentangnya. Mulai saat ini, malam-malamku akan menjadi milik Tuhan seutuhnya tanpa ada curhat colongan tentang senyumnya.
Aku akan membuang jauh sosok itu. Aku tak mau membuka lagi kotak kecil berisi senyum simpul itu. Aku takut jatuh dari mimpi. Terlebih lagi, aku takut kalau hatiku jatuh lagi. Dalam perjalanan pulang ini, aku meninggalkan kotak ini di pantai. Aku tak akan mengambilnya. Biar ombak menyeretnya pergi jauh, sejauh mungkin hingga tak ada yang menemukan kotak berisi senyum simpul itu.
“Sekarang, tak akan ada simpul dan senandung untukmu. Kotak ini akan membawa senyum itu pergi. Selamanya..”


25 Maret 2011
Di inspirasi oleh lagu Simfoni Hitam - Sherina
cerita ini hanya fiktif belaka, kalau ada persamaan murni kebetulan balaka.

Thursday 24 March 2011

Simfoni Hitam



Tlah ku abaikan mimpi-mimpi dan ambisiku,,
tapi mengapa ku tak kan bisa sentuh hatimu...

Monday 21 March 2011

Catatan Kecil, Kecil Bagi Mereka Tapi Amazing Bagiku

Catatan kecil ini diambil dari seorang kawan bernama Inna Sitzu Khainna  yang berada di Jepang untuk belajar di negeri Sakura. Terima kasih telah berbagi...

[pasca-gempa+tsunami 11/3/11] another story about queuing


Beberapa hari belakangan, sejak gempa besar mengguncang Jepang hari Jum'at pekan lalu, disusul dengan tsunami di wilayah pantai Timur Laut, gambar antrian panjang di mana-mana menghiasi berita di tivi. Antrian panjang untuk menerima pembagian makanan kecil yang ga seberapa di supermarket yang juga sempat kemasukan air laut. Antrian panjang untuk mengambil jatah air bersih di tempat pengungsian. Antrian panjang untuk memakai telepon umum demi mengabari keluarga di rumah karena HP ga berfungsi setelah gempa. Antrian panjang di depan stasiun menunggu giliran naik kereta yang jadwalnya berkurang karena pemadaman bergilir. Dan untuk yang terakhir, 'panjang' saja ga cukup. Harusnya saya tulis 'panjaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang'. Hebatnya ga ada satupun yang mendorong orang di depannya atau yang berusaha menyelak yang bisa berujung kerusuhan. Minna issho dakara, semuanya juga sama-sama (susah). Semuanya berpikir gilirannya pasti tiba, jadi mereka lebih memilih untuk menyibukkan diri dengan bermain game di HP atau baca buku atau mendengarkan musik atau sekedar mengobrol kalau kebetulan bersama kenalan. Dalam membuat antrian juga mereka masih punya etika, mengambil tempat seperlunya dan menyisakan tempat untuk orang lain yang lewat.

Kekaguman orang asing soal ketertiban orang Jepang dalam mengantri ini sampai masuk ke salah satu media cetak di Cina. Ceritanya waktu kejadian transportasi di Tokyo diberhentikan total setelah gempa besar hari Jum'at. Orang-orang duduk di tangga bagian pinggir, ga ada satu pun yang duduk di bagian tengah. Secara alami mereka berpikir jangan sampai mengganggu/merepotkan orang lain. Jama shinai you ni, istilahnya. Komentar sang pembawa berita, "Bagi kita (orang Jepang) sesuatu yang sudah seharusnya (dan biasa), bagi orang asing ternyata sesuatu yang luar biasa. Bisa jadi mereka dapat sesuatu pelajaran dari kita." Saya jadi teringat orang-orang yang duduk di tangga menuju lantai bawah tanah di Terminal Bus Blok M meski bukan dalam rangka mengantri apa pun. Sampai perlu bilang permisi supaya saya diberi jalan lewat. Kalaupun ada jalan sedikit, malah saya yang harus minggir-minggir.

"shimpai shinaide kudasai.."



How well mannered Japanese are.

--mutiara s北海道大学,--

Aku berdecak kagum,, Jepang,, semakin aku pengen ke sana. Allah, mudahkan jalanku, semoga masih ada waktu amiin ^^

Sunday 20 March 2011

Impian Sakura


Aku punya mimpi dan sudah kutulis sejak aku SMA dulu, AKU MAU KE NEGERI SAKURA! Dan karena itulah selepas SMA aku mengejar beasiswa Mombukagakusho meskipun akhirnya harus mengakui bahwa pergi ke negara asal Doraemon ini sangat sulit. Melepas mimpi sesaat dan terdampar di Bintaro bergelut dengan pajak. Tapi, mimpi itu masih ada. Masih tertulis rapi dan terekam jelas di otakku. aku ingin ke sana, ingin belajar di sana, ingin tinggal di sana. Sakura, Jepang, bagiku suatu kebahagiaan bisa berdiri di sana. 
Aku sering melihat dari TV maupun internet betapa rapinya kotamu, bersih dan teratur. Negara kepulauan dengan 4 musim yang indah, saljumu, guguran daun-daun aku ingin melihatnya. Kedisiplinan warga-wargamu, aku ingin menyaksikan langsung. Dan sekarang mimpi itu seakan mendarah daging, aku ingin S2 di sana.

Kemarin, 11 Maret 2011 bencana itu datang.. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un.. Gempa 8,8 SR dan tsunami menghancurkan kotamu. aku merinding melihat video amatir yang banyak ditayangkan di TV, seperti yang ini:

astaghfirullah,, betapa Maha Dahsyatnya Allah SWT. Air laut yang bisa menyeret apa saja yang ada sampai ke bangunan besar sekalipun. Subhanallah.

Setelah tsunami yang menyisakan duka mendalam, Jepang lumpuh. Kereta listrik yang menjadi sarana transportasi utama banyak yang tidak bisa beroperasi. Belum lagi bayang-bayang mimpi buruk tentang PLTN yang masih aktif dan terkena dampak gempa. Dan benar saja, dalam hitungan hari mimpi itu benar-benar jadi kenyataan. Reaktor 4 Fukushima meledak. Seolah tak mau mengulang masa lalu dari kejadian chernobyl, semua mata dunia menyorot ke Jepang. Bahkan Amerika pun ikut waspada kalau kalau terjadi kemungkinan terburuk. Bahaya radiasinya semakin hari semakin membayakan. Untungnya, Jepang negara maju yang siap menghadapi keadaan sulit. Akan tetapi, sesiap apapun, akhirnya satu kata terucap, Jepang collapse!

Jepang, aku dan impian Sakura... Bagaimanapun juga, aku masih jatuh cinta pada Jepang walaupun keadaannya sekarang memprihatinkan. Aku masih menyimpan impian ke sana, belajar di sana, menikmati elok alamnya. Impian Sakura, ya aku pasti bisa ke sana suatu hari nanti. Mungkin di saat ekonomimu kembali kokoh dan semua cobaan ini sudah kau lalui. Aku akan ke Negeri Sakura!

Friday 18 March 2011

Cerita Jalanan


Aku mengenalnya lebih dari orang yang lewat setiap hari di jalan itu. Aku mengenalnya lebih dari seorang kawan yang mungkin tak ia punya sekarang. Aku mengenalnya, aku mengenal sosok tua itu. Tangannya sudah tak sekuat dulu, nampak garis keriput di pipinya. Kakinya pun mungkin sudah tak kuat menempuh jarak puluhan kilo yang dulu sering ditempuhnya setiap hari. Aku mematung memandangnya. Pak Tua yang sama yang kulihat beberapa tahun lalu.
Aku tahu, di tengah keterbatasannya dia mungkin bisa meminta-minta belas kasihan orang lain. Tapi baginya, bukan hidupnya kalau harus menengadahkan tangan ke setiap orang yang lalu lalang di depannya. Walau kadang, bagiku itu terlalu egois. Aku yakin, perutnya sudah berdemo sedari tadi untuk mendapat makan. Sosok tua itu tetap di sana, memandang langit luas. Entah apa yang dia bicarakan dengan langit, atau mungkin dengan Tuhan. Diskusi itu hanya untuknya dan Tuhan, bukan untukku yang hanya lalu baginya.
Pernah kumelihatnya begitu gembira dengan sapu di tangannya. Hari itu, dia dipercaya sebagai tukang sapu trotoar. Pagi buta dia sudah menenteng sapu dan pengkinya. Berjalan menyisir trotoar. Dia bersihkan tiap sudut jalan sampai tak ada lagi kotoran di sana. Hanya dalam hitungan jam sampah kembali menumpuk. Dia dengan senang hati menyapu lagi, membersihkan tiap jengkal trotoar. Aku membaca wajah bahagia di raut wajahnya. Mungkin karena sebentar lagi akan ada uang untuk membeli sesuap nasi. Atau mungkin karena dia mencintai jalan ini.
Tapi semua itu tak lama. Dia kehilangan pekerjaan. Bukan hanya pekerjaan, tapi dia kehilangan hidupnya. Seseorang menggantikan pekerjaannya. Dia masih muda dan konon dia kerabat kepala kebersihan di sana. Ironis!
Hampir setengah usiaku di habiskannya di jalanan. Aku yakin, pasti bukan seperti ini hidup yang dia mau. Di dalam hatinya mungkin ada mimpi tentang hangatnya sebuah rumah dan keluarga. Dua hal yang mungkin tak ia miliki sekarang. Tapi, dia sungguh sosok dengan hati seluas samudra. Baginya, jalan adalah rumahnya, langit luas adalah atap dan emperan toko adalah alas tidurnya. Keluarga? Tentu dia punya. Gerombolan anak jalan yang biasa mengamen dan mengemis di jalanan adalah keluarganya. Dalam pikirnya, Tuhan selalu adil dalam takdir. Tak ada yang salah dengan hidupnya. Dia sangat beruntung di semua hal.
Tak dipungkiri, aku mengaguminya. Sosok itu memberi perlindungan pada anak-anak jalanan meskipun dia sendiri butuh sandaran. Dia membagi makanan bahkan rela tak makan demi keluarga yang dia punya sekarang. Aku kadang mengutuki kejamnya jalanan yang menyisakan sengsara untuk orang sepertinya. Tapi lagi-lagi bukannya dia memusuhi jalanan, dia berterima kasih pada jalanan. Jalanan memberinya rumah dan keluarga.
Mungkin dia sudah lupa kalau jalan yang sudah merampas hidupnya. Merebut rumahnya dan membuat satu per satu keluarganya hilang. Kala itu, pelebaran jalan menjadi alasan dia harus merelakan rumah peninggalan keluarganya. Harta satu-satunya yang dia punya. Apa hendak dikata, daripada ribut dengan pasukan berseragam yang menenteng gelar satpol PP. Siang itu penggusuran itu terjadi. Dia hanya bisa pasrah melihat rumah tempat di mana dia dibesarkan atau bahkan mungkin dilahirkan dirobohkan paksa.
Janji pemerintah pun tinggal kenangan. Alih-alih menerima uang ganti rugi atas rumahnya, rumah tinggal sementara pun tak kunjung ada. Beberapa orang yang bernasib sama sudah enggan menanti ketidakpastian. Satu per satu mereka pergi. Meninggalkan kota yang semakin garang ini. Sedangkan dia masih bertahan. Dia percaya masih ada kemurahan dari pemimpin yang dia pilih semasa pemilu. Tapi apa daya, balasan bagi seseorang yang tidak punya pangkat adalah sama, tidak didengar.
Perlahan orang yang dia kenal sebagai keluarga meninggalkannya. Istri, anak, menantu dan cucu semua pergi. Mungkin mereka tak tahan hidup di jalan tanpa kepastian dan uang. Mereka mengutukinya bahkan memaki hidup yang dia punya sekarang. Dia terpuruk.
Dia bertahan hidup dengan segala apa yang dia punya. Memulai hidup baru dengan jalan sebagai rumahnya. Kini aku tahu dia sangat menyukai tiap jengkal jalan ini karena jalan ini dulu adalah rumahnya. Tempat dia tertawa, gembira dan bersuka. Andai saja kebijakan pelebaran jalan itu tak pernah ada, mungkin akan lain jalan ceritanya. Tapi Tuhan bukan menciptakan takdir tanpa maksud. Aku melihat jalanan membentuk Pak Tua menjadi sangat bijaksana jauh dari sosoknya dulu yang tak suka berderma.
Aku melihatnya lebih dari sekadar aksesoris jalanan. Aku melihatnya sebagai sosok tegar dan bijaksana. Satu demi satu peluh keringatnya membuktikan dia tak pernah menyerah dengan takdir. Dia masih melawan jalanan. Dia tak pernah menyerahkan dirinya pada jalanan. Dia membawa keyakinannya hanya pada Tuhan. Tuhan selalu adil, begitu keyakinannya. Dia juga masih percaya pada pemerintah. Walaupun banyak ketidakadilan yang dia kecap dari kebijakan orang-orang yang duduk di sana. Dia masih percaya bahwa suatu saat pemerintah ingat akan janjinya. Meskipun dia tahu jumlah mahasiswa yang turun ke jalan menentang kebijakan pemerintah semakin banyak. Meskipun dia tahu harga kebutuhan yang terus menanjak akibat permainan politik para penguasa. Dia tahu tapi dia selalu percaya. Percaya kalau Tuhan selalu adil. Dan aku percaya Tuhan sayang padanya.
Pagi ini aku tak akan lagi melihatnya di jalan ini. Tak akan lagi ada sosok Bapak Tua yang kulihat berdialog dengan langit. Tak akan lagi ada sosok yang berbagi makan dengan bocah-bocah pengamen dan pengemis jalanan itu. Dia sudah pergi kemarin. Bukan karena dia sudah muak dengan jalan ini. Dia pulang ke tempat seharusnya dia berada. Tempat yang akan membawa damai untuknya.
Tuhan memang benar-benar menyayanginya. Dia memberinya hidup yang lebih abadi di sisi-Nya. Kemarin, jalanan mengantarkannya pulang. Sebuah metromini oleng dan menghantam tubuh tuanya. Tak ada tangis sedih di sana. Hanya ada beberapa orang yang melintas dan menggumam bagaimana kejadiannya lalu pergi. Mereka lebih tertarik mengobrolkan tentang kecelakaan itu dari pada nasib sosok tua yang penuh darah itu. Jenazahnya pun tak jelas terkubur di mana. Bisa jadi tergeletak di kamar mayat rumah sakit dan siap jadi bahan percobaan para calon dokter.
Meskipun demikian, aku tetap yakin Tuhan menyayanginya. Tuhan tak pernah melihat orang dari bagaimana dia mati. Tuhan lebih perduli bagaimana seseorang menghabiskan masa hidupnya. Mungkin dia tak pernah memberi sumbangan atau berderma seperti yang orang lain kerjakan. Tapi dialog-dialog kecilnya dengan Tuhan selalu mengisi langkahnya. Dan kini, diskusi panjangnya di tengah-tengah malam terjawab. Tuhan memberinya hidup yang lebih baik dan tenang. Jauh dari gemuruh dan asap polusi jalan. Tuhan selalu memperdulikannya seperti aku, tong sampah jalanan yang tak akan lupa dengan ceritanya.
  

Rabu, 2 Maret 2011         
17:12 WIB
Atap rumah dengan naungan mendung dan angin semilir

Selama Masih Ada Waktu

Selama masih ada nafas, aku ingin berbuat lebih untuk orang-orang di sekitarku yang menyayangiku.
Selama masih ada detak jantung, aku ingin membuat diriku lebih kuat agar di tengah lemahku aku bisa meguatkan mereka.
Selama masih ada waktu, aku ingin melihat semua orang tersenyum padaku saat aku pergi.

Raga ini, nafas ini, jantung ini, nyawa ini akan ada deadlinenya. Tiap detik deadline itu berkurang. Aku takut, aku takut belum melakukan apa-apa. Waktuku semakin dekat dan selama masih ada waktu aku ingin melakukan lebih lebih dan lebih lagi, untuk mereka terutama orang tuaku.

Bismillah,, panjangkan waktuku ya Rabb,, semoga nafas ini bermanfaat.. amiin..

Wednesday 16 March 2011

16-3-2010

Kadang, yang bernada nasehat itu bisa menusuk sampai ke ulu hati. Walaupun itu putih dan cemerlang tapi kalau penyampaiannya salah silaunya akan membuat semua orang di sekitarmu bubar jalan. Bukan seperti itu kawan. Tak selamanya orang suka disindir dan saya salah satunya.