Aku, Kamu, Mereka dan Alam

Aku, Kamu, Mereka dan Alam
Aku, Kamu, Mereka dan Alam... Pantai Gedong, 8 Maret 2011 bersama keluarga keduaku,,

Tuesday 2 October 2012

NINDA



Untuk semua Ayah terhebat di dunia, Untuk semua Ibu tertangguh di dunia. Untuk semua anak yang terus belajar bagaimana menyayangi orang tua. Dan untuk SAUJANA.

Senja selalu memberikan semburat warna yang mengesankan.  Campuran warna jingga lembayung dan sisa-sisa terang sinar matahari. Warna yang romantis bukan? Ah, aku terngiang kata-katanya kala itu. Kami menghabiskan senja bersama duduk di pelataran Masjid megah yang entah kenapa sangat nyaman untuk menghabiskan waktu bersama orang yang spesial. Dia menggenggam tanganku erat dan sesekali menggelayut di pundakku.

“Sudah lama banget Nin kita ga menikmati senja eperti ini?” dia menoleh ke arahku dan tersenyum. Senyum yang aku kenal sejak dulu. Senyum yang membuatku jatuh cinta dan selalu jatuh cinta padanya. 

“Kita akan lebih sering keluar bareng...” kalimatnya pelan dan menggantung. Ada ragu yang tersimpan dibalik senyumnya. Ah, aku tahu kalimatnya ini hanya untuk membuatku tersenyum. Dan aku tersenyum, meraih kepalanya yang sudah bersandar di pundakku sedari tadi.
“Lihat sini! Senyuuuum...” Fahri dengan segera mengabadikan kebersamaan kami. 

“Bagus ga hasilnya?” Lihatlah dia sudah berlari ke arah Fahri yang dengan bangga memperlihatkan hasil karyanya. Senyum di wajahnya membuatku tahu bahwa hasil fotonya bagus. Fahri berbakat soal fotografi. Ingat saat Fahri berhasil memenangkan lomba fotografi sebulan lalu. Dia tak henti membanggakannya dan menjadikannya topik sepanjang hari. Membuatku cemburu. 

Fahri berjalan ke arahku. Duduk di sampingku, basa-basi sekedarnya tentang masjid ini yang selalu mempesona. Dan seperti biasanya Fahri dengan segera mengambil seluruh perhatian ke arahnya. Ah, kenapa aku harus berbagi kebersamaan yang seharusnya mungkin lebih indah kalau tanpa Fahri. Pikiran bodoh itu melintas begitu saja di benakku. Lihatlah Ninda kini sudah beranjak pindah ke samping Fahri dan memberikan seluruh pandangan matanya ke Fahri. Begitulah, selalu seperti ini.

Senja semakin meremang dan sudah saatnya kami pulang. Dia menggandeng tanganku. Berjalan bersebelahan denganku. Fahri di sebelahnya terlihat repot membawa perlengkapan kameranya. 

“Tunggu di sini ya aku ambil mobil dulu.” Fahri bergegas berjalan ke parkiran menyisakan aku dan Ninda dalam hening. 

“Nin?”

“Iya?” jawabnya dengan menatapku lekat. 

“Makan malam dulu di rumah ya sebelum pulang?” Dia dengan segera mengangguk. Beberapa menit kemudian sampailah kami di rumah kecilku. Dan jadilah malam ini rumah kecilku ramai. Dia dan Fahri duduk di ruang tengah tertawa bersama saat membuka album foto. Entah apa yang mereka tertawakan. Fahri tipe orang yang tidak banyak bicara. Dia membuatku bertanya apa yang membuatnya begitu spesial bagi Ninda.

“Ninda pengen Papah kenal dulu.” Ingatanku kembali setahun yang lalu. Kalimat Ninda itu jadi terdengar berbeda di telingaku. Ini menjadi penegasan bahwa lelaki ini adalah pilihan anakku. 

Sungguh urusan persetujuan ini sangat sulit. Bagaimana aku harus melepaskan anak semata wayangku untuk menjadi bagian hidup orang lain. Melepas tanggung jawabku sebagai Ayah dan mempercayakan orang lain sebagai imamnya. Dulu Ninda selalu mengatakan aku adalah laki-laki paling ganteng sedunia. Tapi akan ada laki-laki lain yang menempati posisiku sebagai laki-laki paling ganteng di dunia Ninda. Aku harus berebut bagian di hati Ninda yang aku yakin sekarang penuh dengan bunga cinta pada Fahri.  Sungguh menakutkan!

Pada akhirnya aku mengalah. Kupeluk Fahri saat dia selesai mengucap akad dan sah meminang putriku. Ada sejuta arti pelukanku. Dan aku rasa Fahri tahu. Dan tatapan matanya mengisyaratkan bahwa aku tak lagi harus ragu. Percayakan Ninda padaku, Yah. Mungkin seperti itu bila tatapannya diterjemahkan dalam kata-kata.

“Aku dulu jelek banget ya? Kurus, kecil, rambut acak-acakan. Ga banget!” Ninda menunjuk foto dirinya yang masih berkepang dua. Aku tersadar dari lamunan dan tertawa. Ingin sekali aku bilang bahwa bagiku, dulu, sekarang dan nanti, kau tetap cantik, Nin. Tapi sayangnya kata-kata itu mampet di tenggorokan. Yang ada aku malah ikut meledeknya. Fahri juga sebelas dua belas, ikut menggodanya. Dia meletakkan album foto dan sibuk mengganti channel televisi. Lihatlah betapa cantiknya dia kalau sedang ngambek! Sekali lagi ingatanku melayang sebulan setelah putriku resmi menjadi istri orang.

“Papah, Fahri sudah beli rumah di Jakarta.” Matanya menatapku hati-hati. 

“Papah tahu kan, Ninda ga mungkin jauh-jauhan terus. Fahri di Jakarta dan Ninda di Semarang.” Aku tahu arah pembicaraan ini. Tiba-tiba aku jadi membenci kata perpisahan.

“Papah beneran ga mau ikut Ninda saja tinggal di Jakarta?” Aku menggeleng. Banyak sekali kenangan di rumah ini. Tak mungkin rasanya kalau harus meninggalkannya. Dan saat perpisahan ini menyakitkan. Ninda memelukku dan mennangis. 

“Ninda sudah pesen ke Bulik Ratih buat terus nengokin Papah. Mbok Jah juga akan terus ngurusin keperluan Papah. Kalau ada apa-apa telpon Ninda Pah...” Aku menggangguk. Ini tentu saja menyakitkan. Mana pernah Ninda pergi lama dari rumah. Paling lama paling sebulan waktu dia KKN di luar kota dulu. Itu saja aku bolak-balik menelpon memastikan keadaannya. Dan kini, aku harus siap melepasnya pergi bersama suaminya ke kehidupannya yang baru. Mataku berair. Segera kuusap agar Ninda tak boleh melihat Papahnya menangis.

“Jam berapa pesawatnya Nin?” 

“Jam 11 Pah, sengaja ambil yang paling malem. Dari sini ntar jam sepuluh lebih dikit biar ga kesusu” Kulirik jam di tembok, pukul 21.30. Masih ada setengah jam. Ya, kebersamaan ini tinggal setengah jam lagi. Kulihat Ninda sudah sibuk membereskan tas dan beberapa bungkusan oleh-oleh. Fahri duduk di sebelahku.

“Ayah, kalau mau ke Jakarta telpon Fahri ya? Nanti Fahri jemput Ayah.” 

“Pokoknya Papah akhir Oktober udah mesti di Jakarta. Ninda maunya Papah nemenin Ninda pas lahiran nanti. Ga ada tapi-tapian ya Pah. Urusan rumah biar Mbok Jah yang urus.’”  Ninda masih dengan lipatan-lipatan pakaian sibuk mengultimatumku. Kalau sudah begini aku hanya bisa mengiyakan kata-katanya. Sedari Ninda kecil aku memang tidak bisa bilang tidak pada putri kecilku ini. Kecil? Hei lihatlah dia kini sudah siap menjadi seorang Ibu. 

Rumah kembali sepi setelah Ninda dan Fahri berpamitan pulang. Aku masuk setelah taksi yang mereka tumpangi hilang di ujung jalan. Ijah sudah pamit pulang tadi jam 9 malam. Suaminya sudah menjemputnya pulang. Tinggal aku dan dinding-dinding rumah penuh foto Ninda. Dinding-dinding ini jadi obat kangenku pada Ninda. 

Kuambil foto di meja samping tempat tidurku.  Foto seorang wanita yang bagiku adalah wanita paling cantik di dunia.

“Sayang kau tak sempat melihatnya tumbuh dewasa Sof.” Kembali suasana haru menarikku. Tak terasa butir-butir bening mengalir dari mataku. Jika sudah sendiri di kamar aku tak lagi bisa membendung butiran air dari mataku ini.

“Kau pasti bangga padanya.” Kupejamkan mataku. Ingatan-ingatan masa lalu satu per satu menghampiriku. Kuliah, lulus dan bekerja dengan penghasilan yang lumayan sebagai pegawai negeri sipil. Menikah di usia kedua puluh delapan dengan gadis yang paling kucintai. Membangun keluarga kecil bersamanya. Pindah ke rumah baru. Menanti kehadiran seorang malaikat kecil di kehidupan kami. Semua itu sangat membahagiakan.

“Pak, selamat anda sudah menjadi seorang Ayah.” Dokter itu menyalamiku. Mungkin itu prosedur atau entah apa tapi selalu begitu yang diucapkan dokter kepada pasien saat memberikan kabar. Termasuk kabar berikutnya.

“Tapi, maaf, kami sudah berusaha semampu kami untuk menyelamatkan Ibunya. Tuhan berkehendak lain. Nyonya Sofia tidak bisa diselamatkan karena pendarahannya terlalu banyak.” Langitku runtuh malam itu. Bagiku Sofia adalah hidupku. Tapi kini, Tuhan begitu mudahnya mengambil dia dariku. Aku menangis bahkan sampai Sofia selesai di makamkan. Sorenya, Ratih, adikku memaksaku menengok bayiku. Bayi yang dilahirkan Sofia sebelum dia menghembuskan nafas terakhir.  Bayi yang aku pikir sebagai penyebab istriku meninggal.

“Mas Arif, putrimu lucu sekali Mas. Matanya mirip Mbak Sofi. Coba sini Mas.” Ratih sudah menggeretku mendekat ke box bayi. Aku melihatnya ragu-ragu. Wajahnya begitu polos, kulitnya masih merah dan bergerak-gerak lemah. Dan benar, mata bayi mungil ini mirip sekali dengan Sofi. Aku melihatnya menatapku damai penuh ketenangan. Hari itu aku sadar aku jatuh cinta lagi. Cinta yang sangat dalam dan dengan sensasi berbeda. Mungkin inilah bentuk cinta orang tua pada anak. Dan 25 tahun berlalu nyatanya cinta ini tidak berubah sedikitpun. Ninda tetap membuatku jatuh cinta setiap kali menatapnya.

Dear Papah,

Jangan lupa makan teratur. Di kulkas ada buah, di makan ya Pah. Jangan tidur malam-malam. Besok Ninda telpon Papah. Ninda sayang Papah :)

Lihatlah Sof, tidakkah anakmu ini romantis sekali?

3 comments:

Ika Mustikawati said...

Kyaaaaa za... aku terharu bacanya :') baguuus... Ikutan SAUJANA juga ya? Tp kayaknya tadi nggak ada cerpen yg ini di blognya?

Ika Mustikawati said...

eh baru nengok lagi, ternyata emang baru dipublish ya.. hehehe kereeen :D

Ny. Auliya said...

makasih Ka.. :)
iya Ka ikut Saujana,, kayaknya aku paling telat soalnya td pagi baru sempet bikin sambil ngeprint laporan.. Kebiasaan deadliner ni -.-

ayo Ka, ikutan.. :)