Aku, Kamu, Mereka dan Alam

Aku, Kamu, Mereka dan Alam
Aku, Kamu, Mereka dan Alam... Pantai Gedong, 8 Maret 2011 bersama keluarga keduaku,,

Wednesday 23 February 2011

Nge-Geje Malem-malem Part I


Lagu pertama, Miku Miku Dance,, lucu kan...


Kedua, Chiisana koi no uta




Ketiga, versi slow nya, akustik nya bagus,,


Keempat Bad day nya alvin and the chipmunk


haven't met you yet...


annoying orange with lady pasta


and the last..



OST Gost at School - Grow up

Sebuah Nama

Lida masih menatap pelangi yang menggantung di langit. Dia masih mengagumi keindahan ciptaan Tuhan yang satu ini. Matanya yang sayu memancarkan binar yang jarang sekali aku temukan saat bersamanya. Kami masih di sana, mengamati indah garis lengkung warna-warni sore itu.

"Indah ya.." aku hanya mengangguk. kembali aku dan dia sibuk dengan fikiran masing-masing tentang pelangi.

Aku menemukannya lagi. Kali ini di tempat yang sama saat kami melihat pelangi. Hujan masih turun memandikan rumput, pohon dan semua yang ada di atas bumi. Hening, hanya ada suara dentuman dan gemericik air. Aku duduk di sampingnya. Menemaninya lagi, memandang mata sayu itu lagi. Ah, mata itu kembali kehilangan sinarnya. Entah ke mana perginya binar keceriaan yang nampak saat kami memandang pelangi.

Lida pernah menyebut satu nama. Nama yang selalu jadi top list di setiap ceritanya. Nama yang dielu-elukan sebagai paling paling dan paling. Nama yang tanpa sadar selalu dia sebut saat bersamaku. Sebuah nama yang membuatku bosan mendengar ceritanya. Membuatku bisa menebak kemana arah pembicaraan ini bermuara. Nama yang kadang aku ingin sekali mengenal sang pemilik nama akibat cerita Lida. Sesekali ingin aku utarakan kebosananku mendengar nama itu, tapi segera kurungkan niat itu. Aku tak ingin binar di mata sayu itu hilang. Akan tetapi, saat melihat wajahnya muram aku juga tak tega. Ingin aku minta dia menghapus memori nama itu agar tak ada sirat sedih di wajahnya.

"Katakan saja.." pernah sesekali aku membisikkan kata itu pada Lida. Wajah bersih itu memerah dan bias rasa malu menghiasi. Mata itupun lagi-lagi tak bisa berbohong kalau dia malu dengan saranku.

"tidak.."jawabnya pelan. "Aku tak mau membuatnya berubah. Aku tak mau menghancurkannya." jawaban Lida hampir tak terdengar olehku. Lirih, ya dia mengucapkannya sangat lirih. Aku semakin penasaran. Merusak apanya Da? Yang ada juga kamu yang tergerus gara-gara kebanyakan mikirin dia, gumamku dalam hati.

Masih memandang hujan bersama Lida. Aku tahu dia menunggu guratan lengkung pelangi. Aku menengadah ke langit. Mendung masih tebal, langit masih meneteskan air matanya. Sepertinya pelangi masih lama datang. Aku mencoba membujuk Lida pergi, tapi sosok itu masih diam memandang langit. Apa yang kira-kira difikirannya, aku penasaran. Apakah masih tentang nama itu? Sudahlah aku lelah menungguinya. Aku meninggalkan Lida yang masih mematung mengagumi rintik hujan.

Malam ini aku kembali bersama Lida. Matanya berbinar-binar. Sudah lama rasanya aku tak melihat sinar mata itu. Penasaran akhirnya aku mendekatinya. Ternyata masih tentang nama itu. Meskipun sangat bosan aku mendengarkan ceritanya. Aku bisa menyimpulkannya. Cinta, ya Lida jatuh cinta. Jatuh cinta dengan sosok nama itu. Aku tertawa.

"Apa kataku,, sudah sekarang kan kamu tahu. katakan Da.." aku membujuknya. Tapi dia masih tetap ingin bungkam. Aku terheran-heran. "Susah sekali menasihatimu, jangan salahkan kalau nanti hatimu sakit Da," ucapku. 

Aku terbangun dari tidurku karena mendengar Lida sangat berisik pagi ini. "Tidak. Aku tak mau perasaan yang seperti ini bertahan lagi." aku mendengar Lida berkata lirih dalam doanya. Aku memandangnya, Lida begitu khusyuk sampai tak menyadari kehadiranku. Ah, pasti doa untuk nama itu, batinku. Kenapa tak kau katakan saja dan masalah selesai.

Akhirnya aku melihatnya. Sosok nama yang Lida elu-elukan. Aku memandangnya. Ah, apa hebatnya? pikirku. Dia terlalu biasa untuk dapat sebutan ganteng. Lida..Lida..

Pagi ini Lida bercerita kembali. Tapi kali ini bukan tentang nama itu. Aku menanyakan tentang dia. Lida hanya tersenyum. Dengan mantap dia bilang, "Aku sudah melupakannya" Aku tercengang. Secepat itukah? Lida tersenyum. Aku menatap matanya, ada sinar jujur di sana. Aku semakin tak mengerti. Untung aku tak pernah kenal dengan rasa yang bernama cinta. Rumit!

Malam ini tak sengaja aku membaca tulisan tangan Lida di buku yang dia tinggalkan dalam keadaan terbuka di mejanya. 
Untuk sebuah nama,
aku mencintaimu tapi aku lebih mencintai Tuhanku. Aku menyukaimu tapi aku yakin Allah akan lebih sayang padaMu. Aku mengharapkanmu tapi aku sangat yakin Allah lebih mengharapkanmu mendekat padaNya. Untuk itu, aku melepasmu. Melepasmu dari pikirku. Mengikhlaskan dan mengubur rasaku. Karena aku tahu Tuhanku tak pernah meninggalkanku. Masih akan ada pelangi setelah hujan. Aku percaya...
Aku  gagal!  Saat membaca tulisan ini aku merasa gagal. Sudahlah, masih ada Lida yang lain yang lebih mudah mendengar nasehatku. Aku pergi menembus dinding-dinding dan berkelana mencari Lida yang lain. Tentunya yang semakin mudah digoda.

 ***



Sunday 20 February 2011

Maaf

29 Ramadhan 1431 H

Hari ini Ibu memergoki aku menangis di kamar. Dengan HP yang masih kugenggam erat dan bantal yang semakin basah dengan air mata. Tanpa ada sepatah kata pun, beliau hanya duduk dan meraih HP ku. Membaca sekilas dan akhirnya menyalakan kipas angin. Siang itu memang terik sekali. Seandainya tidak puasa sudah pasti beliau akan mengambilkan air dingin untukku. Sejenak hening. Aku tak berani berkata apalagi menatap wajahnya. Beliau masih duduk di pinggir kasur. Menemaniku yang semakin menjadi dalam isak. Ya, sekali lagi tanpa suara.

Satu jam aku tenggelam dalam tangis. Aku sendiri sangat tidak menyangka kalau akan sedahsyat ini efeknya. Apa karena ini baru pertama kalinya aku mengalami yang seperti ini. Mataku sembam. Aku bisa merasakan hidungku penuh cairan. Aku capek! Ya, itu mungkin akumulasi dari kekesalan dan refleksi dari sakitnya benda yang bernama hati.
Aku melirik Ibu. Ya, beliau masih di tempat yang sama. Kali ini aku berani memandang wajahnya. Teduh. Beliau ada di sana dengan mukena dan mushaf hijau kesayangan yang beliau beli di Makkah. Entah sudah berapa lembar yang beliau baca sedari tadi. Alunan ayat suci yang indah. Aku menyandarkan kepala di bahunya. Dan tanpa sadar aku meleleh lagi. Kembali terusik dengan apa yang tadi kubaca.

"Wis sholat durung? Wudhu, sholat trus ngaji." ucap Ibu datar, hampir tidak ada ekspresi khawatir terhadap anak perempuannya yang dari tadi menangis sesegukan. Aku menuruti perintahnya. Air di kran ini sangat segar. Kugelar sajadah di samping Ibu. Sholat 4 rakaat dan mengambil mushaf. Ibu sudah hampir menyelesaikan bacaannya. Kudengar sekilas tadi sudah sampai At Thariq, berarti sebentar lagi khatam 30 juz. Kulihat pembatas mushafku, payah! Aku sendiri masih tertahan di juz 26. Dan untuk sampai di angka 30 mungkin tidak malam ini. Payah sekali! Aku memulai bacaanku, bismillaahirrahmaanirrahiim...

Adzan maghrib kali ini sungguh berbeda. Aku menatap es buahku dengan haru. Ibu sendiri sedari tadi mengusap air mata yang coba ia sembunyikan. Bapak seperti biasa meminum teh panasnya dan segera mengambil wudhu. Mas Imam, kakak pertama ku masih di kamar sedang Mas Tian, kakak keduaku, menghabiskan ramadhan terakhirnya dengan Mbak Asri, istrinya.

"Es kuwi di maem ora di pentelengi!" ucapan Ibu membuyarkan konsentrasiku. Ah benar. Sudah berapa lama aku tenggelam bersama lamunanku. "Age ndang di maem! Wis di enteni Bapak. Jamaah.." kemudian aku mendengar suara serak beliau memanggil kedua kakakku dan mbak Asri untuk jamaah bersama.

Aku mencium tangan Ibu, "pangapunten Bu.." aku merasakan tangan Ibu membelaiku perlahan kemudian mencium pipiku kiri kanan. Aku benar-benar meleleh. Akhirnya aku bercerita kepada Ibu malam itu. Diringi gema takbir dan pujian di setiap masjid bahkan gang rumah. "Aku sakit hati.." itulah gambaran jujur hatiku yang seakan disilet membaca apa yang diungkapkan sahabatku siang tadi. 

"Masih pantaskah aku ini disebut teman bu? sedang sahabat yang aku anggap saudara sendiri bisa mengataiku seperti itu. Dia sudah menutup hatinya. Bahkan kata maaf ku pun dibalas dengan kata sudahlah ga guna! kamu kan selalu benar! aku ga akan nerima permintaan maafmu!" Astaghfirullah... aku menghela nafas sejenak. "aku takut Bu,, takut kalau ternyata di akhirat nanti banyak yang menghujatku seperti dia menghujatku. aku takut..." tangisku meledak.

Ibu memegang tanganku. " Wis! Ga usah di tangisi! Kanca ga muk siji. Nek ga dimaafke yo wis. ikhlaske nduk, Gusti Allah mboten sare kanggo reti endi sing bener. Ga usah ngemis-ngemis! Ibu ga rela kuwe ngemis-ngemis demi maaf sing durung mesti kuwe salah! Ga usah sampe sujud ning sikile wong sing nganggep kene rendah! sujud ki cuma ning hadepane Allah.. Wis! Ibu ga pengen anakku nangis maneh gara-gara masalah iki."  

Aku tersentak. Aku tidak menyangka Ibuku bisa setegas ini. Yang aku tahu Ibuku adalah orang yang lembut dan paling tidak mau aku punya masalah dengan teman-temanku. Tapi kali ini ucapan beliau bernada emosi. Ternyata semua Ibu sama. Tak rela jika anak kesayangannya di jatuhkan. Ibu...sungguh aku hanya ingin membagi beban, bukan menebar kebencian. Aku sedikit menyesal. 

Malam ini, aku putuskan mengirim sms lagi, "maaf..." hanya satu kata itu, semoga mewakili ketulusanku, sabahatku. Ah seandainya waktu masih bisa berputar balik. Aku pasti akan memelukmu erat dan ga akan pernah melepasnya agar jarak kita tak sejauh ini. Aku akan menjaga hatimu agar tak tergores sedalam ini. Agar tak ada sakit akibat ulahku. Jika, jika dan jika....

Ah, sahabatku...

***

Saturday 19 February 2011

-hambar-

 Hambar
Pernah aku merasa mengenal
di suatu waktu yang aku tak lagi ada
Memainkan simfoni dan nada
yang aku lupa irama dan susunannya

Pernah aku merasa begitu marah
pada masa yang aku coba lupakan
Memendam bara dalam sekam
yang berujung rapuhnya jiwa

Pernah aku merasakan semuanya
sampai aku sendiri tak tahu benar dan salah
Menyulam bait-bait semu
yang akhirnya hancur habis tak berbekas

Tapi, sekarang tak lagi sama
semuanya hilang tak berbekas
Tinggal satu rasa yang tersisa
Hambar!


- Begitu mudah cuaca berganti. Lima menit yang lalu bulan masih terang tapi sekarang hujan turun dengan derasnya. Begitu juga hati. -

Thursday 17 February 2011

Aku vs Pajak

Hem,, lagi-lagi tulisan ga jelas. Ya, jujur malam ini otakku sedang encer buat nulis tulisan geje a.k.a curhat. Entah gara-gara tekanan UAS entah gara-gara emang aku uda geje dari sononya hehe..

Ngomong-ngomong soal UAS, aku jadi nyadar kalo aku sudah hampir menghabiskan 2,5 tahunku menggeluti bidang yang sebut saja namanya Pajak. Bagusnya namanya, easy listening! Dan pasti orang di Indonesia kenal ama dia. Karena dia populer di sini.

Katanya sih, si Pajak ini lagi jadi primadona di Indonesia. Setiap orang lomba-lomba buat bisa yang namanya Pajak. Jadi aku harus mengambil kesimpulan bahwa aku termasuk beruntung atau gimana.. -__-" 

Lupakan kesimpulan, kembali ke kenyataan. Hubunganku dan Pajak ga terlalu baik, ga musuhan juga si, tapi akrab juga ga. Kadang sebel juga, uda 2,5 tahun PDKT kok ya ga nyambung-nyambung ya? Uda dibela-belain begadang tiap musim ujian datang tapi tetep aja ujian bisa ngerjain, pulang ujian hafalan hilang. Seakan siklus yang berulang, HAFALKAN - KERJAKAN - LUPAKAN. Dan terkadang yang parah adalah aku baru paham apa yang selama 8 minggu kami pelajari di kelas setelah selesai ngerjain soal ujian. -___-"

Jadi ingat waktu pertama kali kuliah di sini. Bengong liat jadwal yang dipasang di jendela gedung P. Ah, bercanda ni, masa matkulnya pengantar ilmu hukum, pengantar pajak, ekonomi, akuntansi.. Aih,, itu bahasa planet mana. Kalimat itu berputar di kepalaku. Tapi untungnya aku ga sendiri, banyak makhluk kesasar di sini, di Administrasi Perpajakan 2008. Tapi bedanya aku dan mereka adalah mereka bisa dengan cepat menyesuaikan diri dan kenalan bahkan akrab ma Pajak. Sedang aku udah hampir ujung waktu masih aja PDKT.

Pajak oh Pajak... Pertarungan besar dalam hidupku. Ya, misi besar, menakhlukkan Pajak! Setidaknya menjadikannya teman baik dan sahabat lah. Biar nanti kalau pas di dunia kerja aku ga bego-bego amat. Biar ga malu, masa 3 tahun di gembleng dengan Pajak dari yang PPh, PPN, Peradilan Pajak, Pemeriksaan Pajak ampe yang Akuntansi Pajak masih ga paham-paham juga. Apa kata rakyat yang sudah membiayai kuliahku??? -jleb-

Masih ada waktu! Ya, masih ada sekitar 6 bulan untuk membalikkan skor dan memenangkan pertandingan ini. Kalau di sepak bola ada ungkapan, bola itu bundar pertandingan 90 menit semuanya bisa terjadi begitupun aku vs pajak. I believe I can! 

Ngomong-ngomong besok ujian Pemeriksaan tapi materi sampe jam segini masih ga ngeh juga. aaaaarrgghh.... zzzzzzzz -____-"

DRAW WITH ME...



Sedih,,,,

Sunday 13 February 2011

Malaikat Juga Tahu


"... Mereka yang tidak paham dahsyatnya api akan mengobarkannya dengan sembrono. Mereka yang tidak paham energi cinta akan meledakkannya dengan sia-sia. Dirinya bukan malaikat yang tahu siapa lebih mencintai siapa dan untuk berapa lama. Tidak penting. Ia sudah tahu. Cintanya adalah paket air mata, keringat, dan dedikasi untuk merangkai jutaan hal kecil agar dunia ini menjadi tempat yang indah dan masuk akal bagi seseorang." (Dee)



Malaikat Juga Tahu

Lelahmu...jadi lelahku juga
Bahagiamu...bahagiaku pasti
Berbagi takdir kita selalu
Kecuali tiap kau jatuh hati

Kali ini hampir habis dayaku
Membuktikan padamu ada cinta yang nyata
Setia hadir setiap hari
Tak tega biarkan kau sendiri
Meski seringkali kau malah asyik sendiri

Karena kau tak lihat
Terkadang malaikat tak bersayap
Tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini, silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Siapa yang jadi juaranya

Hampamu tak kan hilang semalam
Oleh pacar impian, tetapi kesempatan
Untukku yang mungkin tak sempurna
Tapi siap untuk diuji
Ku percaya diri, cintakulah yang sejati

Namun tak kau lihat
Terkadang malaikat tak bersayap,
Tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini, silakan kau adu
Malaikat juga tahu
Siapa yang jadi juaranya

Kau selalu meminta terus kutemani
Dan kau s'lalu bercanda andai wajahku diganti
Melarangku pergi karena tak sanggup sendiri

Namun tak kau lihat
Terkadang malaikat tak bersayap,
Tak cemerlang, tak rupawan
Namun kasih ini, silakan kau adu
Malaikat juag tahu
Aku kan jadi juaranya

Thursday 10 February 2011

''... Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain. Oleh karena itu, dia tidak akan mendholiminya, tidak akan menghinakan, tidak mendustakan, tidak melecehkannya. Takwa itu ada di sini (Rasulullah menunjuk ke dada beliau sampai tiga kali). Cukuplah seseorang dikategorikan jahat, jika dia menghinakan saudaranya sesama muslim. Darah, harta, dan kehormatan setiap muslim adalah haram bagi muslim yang lain.'' (HR. Muslim)
 
-astaghfirullahal'adzim-

Wednesday 9 February 2011

REFLEKSI

Dan pada saat labil pun ku masih bisa berkata.... 
 
"GUSTI ALLAH MBOTEN SARE...."

Ya, satu kalimat ini saja cukup buatku.. Alhamdulillah,,,

Tuesday 8 February 2011

Andha

Akhirnya air mataku tumpah. Kertas di tanganku pun semakin kucel.

"Allahu rabbi,, apa yang harus aku lakukan?" gumamku.

Sementara itu hujan makin deras di luar sana. Akhirnya aku mengusap air mata dan maju ke depan menyerahkan kertas itu ke petugas dan kembali duduk di deretan tunggu.

"Nona Andhara" Aku mendengar namaku dipanggil. Aku menghampirinya, menerima kantong plastik dan bertanya berapa.

"Dua ratus empat puluh enam ribu Mbak," aku menilik dompetku. Astaghfirullah, tinggal tiga lembar seratus ribuan. Lalu dua puluh hari ke depan makan apa aku? aku menyerahkan isi dompetku dan bersegera memasukkan kembaliannya ke dalam dompet. Hujan sudah reda, ingin segera berbaring di kamar.

***
Aku suka taman ini, melihat orang-orang dengan berbagai ekspresi. Ada yang sibuk dengan bacaannya, ada yang sedang berdua dengan entah itu pacar atau pasangannya, ada yang sedang duduk sendiri tanpa ekspresi sepertiku.

"Boleh saya duduk di sini?" aku terkejut saat ada seorang lelaki yang tiba-tiba duduk di sampingku. Aku refleks memindah tasku ke pangkuan. Wajahnya sudah tak lagi muda. Tapi, berkas-berkas ketampanannya masih terlihat.

"dhewekan wae cah ayu?" dia kembali menanyaiku. Aku mengangguk pelan. Sebenarnya inilah aku, suka dengan kesendirian akhir-akhir ini.

"Saya Didik, rumah saya di ujung jalan sana. Saya sering melihat kamu duduk sendiri dan selalu di sini. Jadi saya penasaran." Aku tercekat. Ternyata ada juga yang memperhatikanku. Aku pikir aku adalah bagian tidak penting dari taman ini yang ga harus diperhatikan. Aku bingung harus menjawab apa.

"Nama saya Andha, Pak, Andhara. Saya suka melihat taman dari sini. Di sini view nya pas. Bisa liat anak TPA main, bisa liat orang pacaran, bisa liat pohon-pohon dan semua yang ada di taman." jawabku sekenanya.

Pak Didik tertawa, "Yo wis, tapi aja ngalamun ya nduk." Pak Didik berlalu meninggalkan aku dengan kesendirian lagi. Ah, sudah biasa. Kembali aku larut pada pikiranku.

Petang semakin tenggelam, bias warna merah berganti kelam. Dingin, aku merasakan tulangku tertusuk dingin udara, Tanganku merapatkan jaket. Sudah terlalu lama aku di sini. Mencoba berdiri dan berjalan pulang. Ah, rasa ini datang lagi. Jangan datang sekarang, pintaku. Setelah aku menemukan kamarku kau baru boleh datang. Aku berontak dan akhirnya berhasil menyeret kakiku pulang.

***

"Mbak Andha Mbak Andha,,," Alisa menarik lengan bajuku. Seperti biasa dengan nada manja khas anak kecil.

"Iya sayang?" Dia menunjuk gambar yang ada di bukuku. 

"Gambarnya bagus, Mbak." aku tersenyum. Ku ambil coretan pensilku yang kubuat semalam.

"Lisa mau?" gadis kecil itu mengangguk. Aku memberikannya.

"Lain kali mbak bikinin gambar buat Lisa." 

"aku, mbak??" suara Jojo mengagetkanku. 

"Aku juga mau." Feri ikut menambahi.

"Ya uda, ntar Mbak bikinin buat kalian." 

"Asyik,, asyiik,,,,!!" suara kecil mereka, suara yang selalu kurindukan..
***

Ku lirik HP yang sedari tadi bergetar. Ibu...
"Assalamu'alaykum, Bu.." aku sumringah mendengar suara orang paling kucintai di dunia.

"Piye nduk? sehat?" selalu saja beliau mengkhawatirkanku. Sekilas aku melirik bungkusan plastikku.

"Sehat, Bu.. Ibu, Mas kalih adik-adik pripun? Ibu ampun kecapekan.." kudengar Ibu bercerita tentang rumah, Iman, Ami yang bertumbuh semakin dewasa dan Mas Fadli yang mau wisuda. Juga tentang inovasi kue baru yang berhasil diciptakannya. Aku senang mendengar semua baik-baik saja.

"Ibu pasti capek ya?"

"Enggak Nduk,, kamu belajar yang bener ya. Kalo butuh uang bilang ke Ibu. Ibu kemarin abis dapet arisan." Aku merasa dilema. Ingin sekali aku punya keberanian bilang "Ibu aku butuh uang.." tapi...

"Uangnya ditabung buat dik Iman ma Ami aja Bu. Iman kan tahun ini masuk kuliah. Biaya kuliah kan mahal Bu." entah kenapa kata-kata ini begitu lancar keluar.Kembali aku melirik persendian tanganku yang memar kecoklatan. Tak apa Dha, aku meyakinkan diriku.

Setelah Ibu menutup pembicaraan, aku membanting diri di kasur. Aku melihat foto keluarga dan teman-temanku. "Mereka,," aku tersenyum. Seakan ada energi untuk melawan badanku yang makin payah. Ada foto laki-laki berwajah tampan di sudut mejaku. Aku mendekap foto itu.

"Bapak, sekarang Andha sudah dewasa Pak. Andha kangen Bapak.. Andha pengen ketemu Bapak.." air mataku mengalir.

Ingin rasanya aku berhenti sehari saja, tapi rasanya kau tak memberiku waktu beristirahat. Allah,, kuatkan aku...

***

"Andha meh ngendi dik?"

"Eh Mbak Ajeng, meh ning Magersari, Mbak." 

"Ketemu ma adik-adikmu itu tho?"

"Iya Mbak, hari ini mau ngajarin mereka baca, Mbak Ajeng mau ikut?" aku tersenyum pada kakak tingkatku yang biasa di panggil Ajeng itu.

"Ga deh Dha, bisa stres aku denger ocehan mereka. Yo wis ati-ati ya." ucap Mbak Ajeng sambil lalu.

Aku turun dari angkot dan menyusuri jalan setapak ini. Habis ujan jadi becek di mana-mana. Ah, kaos kakiku, aku merasakan resapan air di kain yang membalut kakiku. Kalau bukan karena kerinduan wajah-wajah polos mereka aku ga akan datang.

Ku lihat beberapa anak menyambutku dengan berlari. Alisa, Feri dan Jojo juga ada di sana. Seperti biasa ada energi lain yang mengisi semagatku. Aku sayang mereka. Aku harus bertahan!
***
Hari ini harusnya aku bertemu dengan Pak Bambang. Pak Bambang adalah dokter di rumah sakit tempat aku praktek. Ya, aku kuliah di keperawatan semester 5. Sudah mulai praktek dan menangani banyak pasien dengan berbagai penyakit. Aku sangat paham bagaimana rasanya menjadi mereka.Ingin sembuh! Ah, terkadang aku juga muak dengan rumah sakit.


Aku memandangi pesan d HP ku,

From: Dr Bambang
 08.00 am


Andha, kamu mesti segera di tangani. Biar Bapak yang bayar. Temui saya nanti di RS jam 1 siang.

Aku merenung. Rasanya di dadaku ada yang berperang antara mengiyakan dan menolak. Lama termenung, tanpa sadar jam sudah menunjuk angka 2. Pak Bambang, maaf sepertinya aku tidak bisa menerima kebaikan Bapak. Kepalaku berputar kembali.
 ***

Tengah malam ini aku menggelar sajadahku. Aku merasa sangat dekat dengan Tuhanku. "Allah,,," aku memulai pintaku. "Tak ada Yang Maha Kuasa selain Engkau. Pemilik hati dan kehidupan. Kuatkan hamba ya Rabb..." aku bersimpuh memasrahkan segalanya. Lama aku menangis. Di hadapan-Nya tak ada yang kurahasiakan. Tidak juga tentang keadaan diriku yang semakin rapuh. Lama ku mengadu pada Sang Khalik sampai akhirnya aku tertidur. Dalam tidurku aku melihat sosok yang aku rindukan selama ini. Dia mengulurkan tangannya. Aku mencium tangannya hikmad. Dia masih begitu bersahaja. Aku tersenyum sumringah.

"Bapak..."
***

Hari ini kulihat langit redup, entah ke mana sinar matahari. Aku menyakinkan diri agar tak ikut redup bersama matahari. Kulihat jam di tanganku, 12:45. Ah, aku belum sholat dzuhur. Kuajak Indri, sahabatku yang sedari tadi menemaniku berbincang untuk sholat jama'ah. 

"Dha, kok kamu kurusan akhir-akhir ini?" tanyanya saat berjalan ke mushalla.

"Ah ga Dri, perasaan kamu aja." aku tersenyum.

Kami mengambil air wudhu. Sekilas aku merasakan kedatangannya. Rasa sakit itu. Kepalaku berputar, perutku mual, darahku seakan mau lepas dari nadiku.Aku mulai merasa kehilangan keseimbangan. Allah,, rintihku. Aku berontak, "Jangan datang sekarang!", ucapku pada diriku sendiri.

"Dha, kamu ga papa tah? wajahmu pucat." Indri mengagetkanku. Aku menggeleng pelan. Segera membenahi lipatan baju dan jilbabku.
"Beneran?" kali ini kupaksa senyumku untuknya. Kemudian ku ajak dia segera ke mushalla dengan isyarat mata. Tapi,

"Andhaaaaaaa....." suara itu yang terakhir ku ingat. Gelap!
***

Andhara Fitriyani, begitu nama yang kuberikan pada putri semata wayangku. Dia lahir saat gema takbir kemenangan, 1 Syawal. Dia pelengkap rumahku, pembawa keceriaan di antara tiga jagoanku, Fadli, Iman dan Ami. Andha bisa menjadi kakak dan adik sekaligus. Dia bisa manja dan bisa jadi dewasa. Itulah mutiara kecilku yang kini telah beranjak dewasa.

"Bu, Andha kuliah ya?" pintanya setengah berbisik kepadaku.

"Dha, Ibu kan pernah bilang, pendidikan itu nomer satu. Kamu itu ya mesti kuliah tho nduk. Ga usah mikirin yang lain-lain." saat itu kulihat Andhaku murung.

"Duitnya Bu?" 

"Wis tho nduk, urusan duit serahin ke Ibu. Fadli dan kamu kuliah yang bener sampe wisuda, Iman dan Ami juga. Ibu ni masih kuat." Aku menjawab masih sambil mengecek kue-kue di oven. Ya, semenjak Herman, suamiku, meninggal 6 tahun yang lalu, aku harus menangani biaya hidupku dan keempat buah hatiku sendiri. Hampir semua aku coba, mulai dari catering makanan, sampai menjahit di samping pekerjaanku sebagai guru TK. Alhamdulillah, Allah masih mencukupkan hidup kami sampai sekarang. Dan aku beruntung empat mutiaraku tak pernah menyusahkan. Fadli selalu juara kelas, Andha sering menang lomba lukis dan cerita, Amin dan Ami selalu masuk kelas unggulan. Mereka seakan tahu untuk tidak menyusahkan Ibunya. 

"Andha yang antar kue-kue nya ya Bu?" Kata Andha sambil mengambil box-box kue di atas meja.

"Bu, besok donatnya di tambah ya? Kata temen Iman enak, jadi mereka pesan lagi besok."

"Ami besok bawa makan dari rumah aja Bu, biar Ami ga usah jajan. Kan sayang kalo harus boros jajan di luar."

Mereka sering membuatku terharu dengan celotehan mereka. Apalagi mengingat pembicaraanku dengan si sulung, Fadli kemarin.

"Bu, mulai bulan ini ndak usah kirim uang saku buat Fadli, alhamdulillah Fadli dapet beasiswanya. Lagian sekarang Fadli sudah ngasih les privat, lumayan sekali pertemuan 50.000. InsyaAllah cukup sebulan."

"Tapi kan kamu di bandung le? apa cukup?"

"InsyaAllah, Bu" mendengar jawabannya aku menangis. Terima Kasih ya Allah, Engkau memberikan mutiara-mutiara terbaik ini kepadaku. Aku sering menitikkan air mataku saat ingat bagaimana keempat buah hatiku begitu kuat dan semangat membantuku.

Saat Fadli sudah jauh merantau ke Bandung, Andha jadi kakak terbaik untuk adik-adiknya. Saat temen-temen SMA nya asyik menikmati masa remaja untuk belanja, nongkrong dan pacaran, dia malah menghabiskan waktu membantuku mengurus rumah dan usahaku. Ah, kalo Andha ga ada mungkin aku kelabakan. Saat dia harus pergi ke luar kota untuk kuliah, aku merasa sangat sulit melepasnya. "Andha kan kuliahnya ga jauh kayak Mas Fadli, Bu. 3 jam naik bus nyampe." hiburnya padaku.

Andha memutuskan mengambil keperawatan. "Aku mau nolong orang, Bu.." Selalu saja orang lain. Bidadariku ini sungguh berhati emas. Sejak SMA dia sudah akrab dengan kegiatan sosial baik di desa maupun di sekolahnya. Dan kini saat kuliahpun dia mengambil yang bisa bermanfaat bagi orang lain. "Ah, seandainya Ibu punya banyak uang pasti kau bisa masuk kedokteran Dha", batinku.

Sore itu Andha berpamitan. Aku mengantarnya ke terminal dan memeluknya erat. Tak ada pesan jaga diri, karena aku tahu Andha sangat tahu tentang hal itu.
***

Fadli sudah mau lulus, sedang Andha kini ada di semester 5. Andha jarang pulang tidak seperti teman-temannya yang seminggu sekali pasti pulang. Bukan karena dia tidak kangen dengan rumah, tapi lebih pada dia mengusahakan agar dia tidak boros. "Sayangkan Bu kalau uangnya habis hanya untuk transportasi. Mending ditabung buat keperluan sehari-hari dan biaya adik.", ujarnya. Aku sendiri percaya dengan anak-anakku. Saat Andha dan Fadli jauh pasti kebaikan tetap meliputi mereka. Seperti Andha yang setiap hari Minggu dia mengajar anak-anak jalanan yang putus sekolah. Aku bisa menebaknya, dengan Andha yang pintar menggambar dan bercerita, dia akan sangat disukai anak-anak.

Sebulan yang lalu Andha pulang. Dia mencium tanganku dan tersenyum. Sekarang gadis kecilku sudah tumbuh, semakin cantik. Wajahnya yang putih terlihat sedikit pucat, ah mungkin karena perjalanan jauh batinku. Pandanganku jatuh pada rok dan baju anakku. Ah, ibu macam apa aku ini. Dan saat itu aku berniat menjahit baju baru untuk anakku tersayang.

Setelah mandi Andha langsung bercengkrama bersama Iman dan Ami. Menanyai mereka tentang sekolah dan obrolan kecil lain.

"Mbak, Iman mau masuk jurusan matematika kayak Mas Fadli." Andha meladeni curhat adik-adiknya. Aku yakin, Andha pasti capek, tapi begitulah Andha, dia tak mau kesempatan pulang yang cuma sebentar terlewat begitu saja. Saat aku nasehati agar dia istirahat dulu, Andha hanya menjawab ringan, "Ibu ini gimana, kan Andha jarang-jarang bisa ngobrol ma dik Iman dan Ami. Belum tentu kan Andha punya kesempatan kayak gini lagi." Aku sendiri tak ambil pusing apa yang dikatakannya saat itu.

"Kamu kurusan nduk.." ucapku waktu kami makan. 

"Mbok ya kamu tuh makannya yang bener di sana. Ibu ga mau anak Ibu jadi kurus begini." Andha tersenyum.

"Kamu ga sakit kan?" 

"Engga kok Bu.. Ibu ga usah khawatir." jawabnya singkat.

Andha sama seperti Fadli, tak pernah mengeluh dengan uang saku bulanan yang aku kirim. Jangankan mengeluh, minta tambah saja tidak. Mereka selalu bilang ini sudah lebih dari cukup. Dan salahku, aku tak pernah memastikannya. Aku terlalu percaya bahwa anak-anakku baik-baik saja. Aku sadar setelah telepon siang ini. Seperti disambar petir, aku lemas. Rasanya tenagaku hilang tak berbekas.
***

"Sabar ya, Bu..." orang-orang menyalamiku dan anak-anakku.

Aku termenung. Andha ada di sana. Dia terlihat cantik dengan senyum simpulnya. Dengan baju putihnya dia masih tampak anggun. Aku memeluknya. Ya, mungkin ini terakhir kali aku bisa memeluknya.

"Bu, Andha mau diberangkatkan..." Fadli berbisik kepadaku.

Air mata yang sedari tadi tertahan langsung mengalir seperti aliran sungai. Aku melihat sosoknya yang tak lagi nampak tertutup penutup keranda. Andha kecilku kini sudah pergi. Iman dan Ami memelukku. Seakan memberiku energi untuk berdiri. 

"Bu, Andha pengen bikin rumah belajar gratis, Andha juga mau naik haji bareng Ibu, Mas Fadli, Iman dan Ami..." ucapan Andha terngiang-ngiang di telingaku. 

"Andhaaa........." rintihku. Seberkas penyesalan datang. Kenapa kau tidak pernah cerita kalau kau sakit nak? Kenapa kau tak berbagi rasa sakitmu pada Ibu? Dan kenapa aku tak tahu kalau bidadari kecilku tergerogoti leukimia? Ibu macam apa aku ini. Tiba-tiba berjuta tanya kenapa mampir ke otakku. 

"Andhaaaa......" nama itu terdengar di sela isakan tangisku. Iman memelukku. Aku memandang kau pergi. 

Andhara Fitriyani, 
Anak Ibu yang sholihah,, Ibu yakin kau sudah berada di tempat terbaik bersama orang-orang terbaik. Innalillahi wa inna ilaihi raji'un...

Aku melirik baju terusan warna biru yang baru selesai kujahit untuknya. "Nak, kau belum sempat mencobanya..." ucapku lirih
***

8 Februari 2011
di sela rintik hujan bulan Februari

Cerita Lala

"Mbak, aku jatuh cinta.." ucapku polos pada mbak Intan, kakak semata wayangku. Mbak Intan merenung, memandang wajahku lekat. Kemudian dalam hitungan detik aku bisa melihat senyum di wajah teduhnya.

Mbak Intan adalah saudara kandungku satu-satunya. Aku begitu dekat dengannya. Hubungan kami bukan hanya kakak adik tapi sahabat. Ah, mana ada kakak yang lebih baik dari mbak Intan. Mba Intan TOP dah!

"Jatuh cinta? Wah, pasti orangnya baik ya La?" Mbak Intan mengambil posisi duduk di sebelahku. Dilingkarkan tangannya ke pundakku seakan memberi energi untukku bercerita.

Aku memulai ceritaku tentang dia yang membuat mukaku merah. Tentang bagaimana aku selalu mengingat wajahnya sebelum tidur. Bagaimana selalu ada namanya di ingatanku. Bagaimana dia yang dengan kepandaiannya membuat aku terpana. Dia yang jago olahraga. Dia yang serba bisa di mataku.

"Apakah ini cinta Mbak?" aku mengakhiri ceritaku. Mbak Intan sedari tadi tak pernah mengabaikanku. Dia mendengarkanku dengan seksama. Ah, cantiknya kakakku yang satu ini.

"Itu artinya Lala udah dewasa." Kak Intan tersenyum. Aku mengernyitkan dahi.

"La, menyukai seseorang itu fitrah, semua orang pasti pernah mengalaminya. Ketertarikan dengan lawan jenis itu juga wajar, kalo kamu ga tertarik malah Mbak sendiri yang bakal nganter kamu ke psikiater. Karena kita seperti magnet dik, punya kutub yang berbeda yang akan tarik menarik kalo di dekatkan." Aku masih lekat memandang Mbak ku yang satu ini. Wajahnya bening. Mbak Intan tidak secantik artis-artis, tapi aku lebih suka memandang wajah Mbak Intan dari pada mereka. Seperti ada cahaya di wajah sayu mbak Intan.

"Berarti, kalo Lala suka ga papa ya Mbak?"

"Ga papa, asal kamu harus siap dengan segala resikonya." Aku memandang Mbak Intan dengan tatapan tak mengerti.

"Lala sayang..." Mbak Intan memegang kedua tanganku.

"Dalam Islam kita tidak mengenal pacaran dik, Rasulullah mengajarkan bahwa hubungan laki-laki dan wanita yang bukan muhrim hanya ada di pernikahan. Lala uda siap nikah?" aku menggelengkan kepala cepat.

"Pacaran? Lala siap kalo pacaran? Lala tau kan efek samping pacaran?"

"Iya, Lala pernah baca. Sepertinya emang ga ada manfaatnya sih Mbak. Malah bisa berefek pada zina kalo kita ga kuat godaannya. Ih, Lala ga mau."

"Nah itu Lala tau." Mbak Intan mengelus jilbab putihku. Sedari tadi saking semangatnya cerita aku jadi lupa mengganti seragam putih abu-abuku.

"Lalu Lala mesti gimana Mbak?" Mbak Intan memelukku.

"Cintai dia dalam diam dik. Karena diammu adalah doa baginya. Karena diammu adalah cara muliamu mencintainya."

"Emang bisa Mbak?"

"Bisa kalau kita usaha dik. Kita bisa berkaca dari kisah Ali yang mencintai Fatimah dalam diamnya. Begitu juga sebaliknya. Bahkan setan pun tak tau ke mana arah perasaan mereka sehingga tak ada celah bagi setan memanfaatkannya." Aku menyandarkan kepalaku.

"Tapi, aku kan tidak sekuat Ali atau Fatimah, Mbak?"

"Mbak yakin Lala pasti bisa. Cari kegiatan positive lain biar Lala lupa. Tilawah misalnya La. Itu bisa menentramkan batin kita yang lagi gundah lho"

"Oh gitu ya Mbak. Bener juga sih Mbak, paling juga seminggu lagi Lala udah lupa perasaan ini. Eh, dari pada mikirin dia mending Lala mikirin tugas atau karya ilmiah." 

"Oh ya, karya ilmiahmu apa kabar La?" Aku menunjukkan ke Mbak Intan tentang hasil tulisanku yang masih sangat mentah. Mbak Intan memberiku banyak masukan. Dan akupun lupa akan cerita tentang dia. Ternyata membahas karya ilmiahku bersama Mbak Intan lebih menarik dari membicarakannya. Karya ilmiahku mengalihkan duniaku, aku menggumam dalam hati.

***

8 Februari 2011
maaf bila ada kesamaan nama tokoh, latar, cerita dan pengalaman, itu murni unsur ketidaksengajaan.

Friday 4 February 2011

Ar Rahman


Surah 55, Surah al-Rahman (Yang Maha Pemurah) : 78 ayat. 
 
Bismillahi al-Rahman al-Rahim (Dengan nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Mengasihani).
55-1:  Al-Rahman (Yang Maha Pemurah)! 
55-2:  Yang telah mengajarkan al-Qur’an. 
55-3:  Yang mengajarnya "bayan" (pandai berbicara). 
55-5:  Matahari dan bulan menurut perhitungan.
55-6:  Dan bintang-bintang dan pokok-pokok bersujud.
55-7:  Dan langit, Dia (Allah) meninggikannya, dan Dia (Allah) meletakkan mizan (neraca).
55-8:  Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.
55-9:  Dan tegakkanlah timbangan dengan adil, dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. 
55-10:  Dan bumi, Dia (Allah) hamparkan untuk makhluk.
55-11:  Padanya ada buah-buahan dan pohon tamar yang mempunyai mayang.
55-12:  Dan biji-bijian yang berkulit dan harum baunya.
55-13:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-14:  Dia (Allah) menciptakan manusia daripada tanah liat seperti tembikar. 
55-15:  Dan Dia (Allah) menciptakan jin daripada nyalaan api. 
55-16:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-17:  Rab (Tuhan) dua “masyriq” (tempat terbit matahari) dan Rab (Tuhan) dua “maghrib” (tempat terbenam matahari).
55-18:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-19:  Dia (Allah) alirkan dua lautan, keduanya bertemu. 
55-20:  Di antara kedua-duanya ada barzakh (sempadan) yang tidak dilampaui oleh kedua-duanya.
55-21:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-22:  Dari kedua-duanya keluar mutiara dan marjan. 
55-23:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-24:  Dan kepunyaan-Nya (Allah) bahtera-bahtera yang tinggi di lautan laksana gunung-gunung. 
55-25:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-26:  Semua yang ada di atasnya akan binasa. 
55-27:  Dan tetap kekal wajah Rab (Tuhan) engkau Zul Jalal wal Ikram (Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan).
55-28:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-29:  Memohon kepada-Nya (kepada Allah) semua yang di langit dan di bumi. Setiap hari (waktu) Dia (Allah) dalam urusan. 
55-30:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-31:  Kami (Allah) akan bertindak terhadap kamu, wahai manusia dan jin!
55-32:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-33:  Wahai golongan jin dan manusia, jika kamu sanggup melintasi penjuru langit dan bumi, maka lintasilah! Kamu tidak dapat melintasinya melainkan dengan kekuatan.
55-34:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-35:  Akan dikirimkan kepada kamu berdua (jin dan manusia) nyalaan api dan cairan tembaga, maka kamu tidak dapat menyelamatkan diri. 
55-36:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-37:  Maka apabila langit terbelah, lalu menjadi merah mawar seperti minyak. 
55-38:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-39:  Pada hari itu tidak ditanya tentang dosanya manusia dan jin.
55-40:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-41:  Dikenali orang yang berdosa dengan tandanya, lalu dipegang ubun-ubun dan kaki-kaki mereka.
55-42:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-43:  Inilah Neraka Jahanam yang didustakan oleh orang berdosa.
55-44:  Mereka berkeliling di antaranya dan di antara air mendidih yang sangat panas. 
55-45:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-46:  Dan bagi orang yang takut akan makam Rab (Tuhan)nya, ada dua syurga. 
55-47:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-48:  Kedua-duanya mempunyai pelbagai jenis.
55-49:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-50:  Di dalam kedua-duanya ada dua mata air yang mengalir.
55-51:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-52:  Di dalam kedua-duanya terdapat pelbagai jenis buah-buahan yang berpasangan. 
55-53:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-54:  Mereka bersandar di atas permaidani yang sebelah dalamnya daripada sutra, dan buah-buahan kedua-dua syurga itu dekat. 
55-55:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-56:  Di dalamnya ada mereka (bidadari) yang singkat pandangannya, tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka, dan tidak jin.
55-57:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-58:  Seakan-akan permata “yaqut” dan “marjan”.
55-59:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-60:  Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan.
55-61:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-62:  Dan selain daripada kedua-duanya ada dua syurga lagi.
55-63:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-64:  Kedua-duanya hijau tua.
55-65:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-66:  Di dalam kedua-duanya ada dua mata air yang sentiasa memancar.
55-67:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-68:  Di dalam kedua-duanya ada buah-buahan dan tamar serta delima. 
55-69:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-70:  Di dalamnya ada mereka (bidadari) yang baik-baik lagi cantik-cantik. 
55-71:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-72:  Yang putih bersih, tersimpan dalam rumah.
55-73:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-74:  Mereka tidak pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka, dan tidak  jin. 
55-75:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-76:  Mereka bersandar di atas bantal-bantal yang hijau dan permaidani yang indah. 
55-77:  Maka nikmat Rab (Tuhan) kamu yang manakah yang kamu berdua (jin dan manusia) dustakan?
55-78:  Maha Berkat nama Rab (Tuhan) engkau Zil Jalal wal Ikram (Yang Mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan).

Tuesday 1 February 2011

Tentang Seseorang

TENTANG SESEORANG
Kulari ke hutan kemudian teriakku
Kulari ke pantai kemudian menyanyiku
Sepi, sepi dan sendiri aku benci
Aku mau bingar, aku mau di pasar
Bosan aku dengan penat
Dan enyah saja engkau pekat
Seperti berjelaga jika kusendiri
Pecahkan saja gelasnya biar ramai!
Biar mengaduh sampai gaduh!
Aih… ada malaikat menyulam
Jaring laba-laba belang di tembok keraton putih
Kenapa tak goyangkan saja loncengnya biar terdera
Atau aku harus lari ke pantai belok ke hutan…


~puisi yang dibawain Dian Sastro di film AADC~

ga tau kenapa puisi ini ngena banget,, apalagi denger musikalisasinya oleh Dian Sastro. Memang si Dian bukan penyanyi tapi suaranya pas banget dengan puisi ini... Ah, sayang aku tak pandai menyuarakan puisi, jangankan memusikaliisasikan, menulis puisi saja aku keteteran..
Ah ada lagi puisi AADC yang bagus,, puisi yang diserahkan Rangga ke Cinta di akhir cerita,,

PEREMPUAN DATANG ATAS NAMA CINTA

Oleh: Rako Prijanto

Perempuan datang atas nama cinta
Bunda pergi karena cinta
Digenangi air racun jingga adalah wajahmu
Seperti bulan lelap tidur dihatimu
Yang berdinding kelam dan kedinginan
Ada apa dengannya
Meninggalkan hati untuk dicaci
Baru sekali ini aku melihat karya surga dalam mata seorang hawa
Ada apa dengan cinta
Tapi aku pasti akan kembali
Dalam satu purnama
Untuk mempertanyakan kembali cintanya
Bukan untuknya
Bukan untuk siapa
Tapi untukku
Karena aku ingin kamu
Itu saja