Aku, Kamu, Mereka dan Alam

Aku, Kamu, Mereka dan Alam
Aku, Kamu, Mereka dan Alam... Pantai Gedong, 8 Maret 2011 bersama keluarga keduaku,,

Thursday 2 February 2012

Kado Buat Ifa

Hari ini mungkin akan jadi hari yang panjang buatku. Hari ini sudah sangat kunanti sejak setahun lalu saat dia memintaku menunggunya. Ya, aku masih menunggunya, menunggu wajah tampan itu tersenyum kembali padaku. Di sini, kembali di sini. Setahun lalu aku mengantarnya di koridor pemberangkatan dan kini aku riang menunggunya di ruang tunggu kepulangan. Sungguh perasaan ini ga bisa di gambarin dengan kata-kata. Begitu bahagia, begitu sempurna.

Aku di sini tak sendirian, di sampingku ada Bu Wida yang kupanggil Mamah. Dia, orang yang sangat aku sayangi karena telah melahirkan anak terbaik di hatiku. Dia ibu dari Arya Putra Wibowo, kekasihku, tunanganku.

Aku mulai gelisah melihat jam yang tak kunjung menunjuk ke angka 10. Dalam hal menunggu, jangan tanya padaku. Aku sudah sangat terlatih. Setiap tahun menunggu dia di bandara sudah menjadi ritual tahunan yang sangat aku suka. Setidaknya dalam 4 tahun terakhir ini. Jangan kau tanya bagaimana rasanya. Karena aku tak akan bisa menjelaskan bagaimana.


“Kok lama ya Fa?” ucapan Mamah membubarkan lamunanku. Kulihat jam tanganku, ah benar ini sudah 10.45 WIB harusnya pesawat Arya sudah take off dari tadi.

“Iya Mah, apa Ifa tanya ke informasi aja ya Mah?” Mamah mengangguk dan aku segera ke pusat informasi. Di sana ternyata juga banyak keluarga yang menjemput sanak saudaranya yang menumpang pesawat yang sama dengan Arya. Mereka mungkin sangat khawatir. Aku tahu rasanya.

“Maaf Pak, Bu, kami juga masih menunggu kabar dari penumpang pesawat. Kami sendiri masih belum yakin karena sejak sejam lalu kami kehilangan kontak dari pesawat tersebut.” Aku mematung. Apa-apaan ini? Aku baru saja datang dan tiba-tiba seorang bapak-bapak yang aku yakin salah seorang dari pihak perusahaan pesawat menyambutku dengan ucapan itu. Kemudian seorang Ibu tiba-tiba menangis dan pingsan. Apa-apaan ini? Apa yang sedang terjadi di sini? Mimpikah aku? Aryaaa....
***

Aku lunglai di pusara yang masih segar ini. Mengalunkan doa dan tangis tertahan. Pemakaman sudah sepi. Kini tinggal aku, Mamah, Ayah dan Ibuku serta kakak-kakak Arya. Aku meletakkan setangkai mawar merah segar di sana.

“Arya,, aku tahu kamu pasti sudah tak bisa mendengarku. Tapi di manapun kamu, berbahagialah...” ucapku dalam hati dan kembali mengalunkan doa. Sungguh hari ini terlalu menyakitkan untuk terus diingat. Aku seakan kehilangan tenaga untuk sekedar tersenyum.

Bayangan Arya malam tadi masih melekat. Tak sepatah katapun terucap darinya. Mamah, Kak Neli, Ibu dan banyak lagi orang di sana menangis. Aku samar mengingat kejadiannya. Yang aku tahu aku terbaring dengan infus di sebuah rumah sakit. Kak Abi yang menjemputku untuk dibawa ke sini setelah yakin aku cukup kuat untuk jalan. Dan kak Abi membawaku ke kamar jenazah rumah sakit yang sama. Ada apa ini?

Inilah realitanya. Aku yang setelah setahun tak bertatap muka dengannya, setelah tak pernah sekalipun dalam setahun ini bercakap langsung dengannya sekarang melihatnya lagi. Dia di depanku. Masih dengan wajah tampannya. Masih dengan senyumannya. Tapi kenapa dia ada di sini? Kenapa? Aku berhambur ke arahnya. Menggoyang-goyang badannya. Tak ada reaksi yang kudapat. Hanya sensasi dingin yang menjalar dari tangannya.

“Fa,,” kak Neli mulai tak tahan dan memelukku.
“Ikhlasin Arya Fa,,” Ibuku memelukku juga. Aku masih tak mengerti. Ini mimpi, pasti ini mimpi. Batinku terus memberontak. Aku sangat mengantuk karena mengejar deadline revisi skripsi. Semalam aku tak tidur mungkin karena itu aku mengantuk dan tertidur di bandara. Aku pasti bermimpi! Aku meronta dan akhirnya rubuh di pelukan Ibuku.
***

Sudah tiga tahun dari kepergiannya. Aku mulai mengerti kepingan-kepingan arti dari memori yang Arya tinggalkan untukku. Arya selalu bilang, “Ifa itu dari dasarnya manja jadi jangan dimanjakan. Ifa itu harus mandiri kalau Arya ga ada. Ifa itu harus bisa seperti Mamah yang kuat walaupun sendirian. Ga usah keseringan telepon Fah, sayang pulsanya kan lebih baik dibuat yang lain. Ifa jangan jadi terbebani karena ada Arya, Ifa ini wanita yang belum terikat pernikahan dengan Arya jadi jangan terlalu cinta ma Arya.” Hatiku remuk mengingat semua yang pernah Arya ucapkan. Dan setelah Arya benar-benar pergi karena kecelakaan pesawat itu aku mengerti bagaimana Arya sudah menyiapkanku untuk mengikhlaskannya. Semakin sedikit memori yang ditinggalkan, semakin mudah untukku sedikit demi sedikit menghadapi takdir.

Aku masih dekat dengan keluarga Arya. Aku masih sering mengunjungi Mamah, berbincang berjam-jam dengan Kak Neli di telepon dan kadang makan malam dengan keluarga mereka. Semua tak ada yang berubah kecuali Arya yang sudah tak ada di sini.

Ayah dan Ibuku juga masih sesekali berkunjung ke rumah Mamah. Keluarga kami memang sudah seperti keluarga sendiri. Bagaimana tidak, kami bertetangga selama hampir 6 tahun saat dulu Ayah masih bertugas di Jakarta. Arya sendiri sudah seperti anak laki-laki yang tak pernah Ayah dan Ibu punya.

Tiga tahun juga Ibu dan Ayah selalu mengusahakan agar aku tak lagi sedih dengan kepergian Arya. Bahkan semua barang-barang yang mengingatkanku pada Arya pun mereka simpan rapi tanpa sepengetahuanku. Dan terlebih, mereka menginginkan aku kembali tegar dan memulai hidup kembali.
“Ifa, besok libur kan? ikut Ibu ya, Nak?” Aku mengernyitkan dahi. Sudah pasti Ibu akan membawaku ke suatu tempat untuk dikenalkan pada seseorang lagi.
“Bu, tapi Ifa ga mau kalau dikenal-kenalin lagi” ucapku lembut. Ibu terlihat kecewa dengan ucapanku.
“Nak, sudah tiga tahun..”
“Ibu, Ifa ga mau!” potongku. Keras dan kemudian menyesal kenapa berkata sekeras itu pada Ibu. Kemudian Ibu memelukku. Pelukannya seakan obat untuk hatiku yang remuk. Walau hanya diam dan menungguku selesai dengan air mataku, aku tahu Ibu tahu persis bagaimana hancurnya hatiku. Tiga tahun ternyata belum cukup untuk membuka hati pada orang lain.
***
Hari ini tepat empat tahun kepergian Arya. Aku sengaja menyempatkan diri mengunjunginya di makam. Sekedar memastikan dia masih terawat di kediaman barunya atau lebih tepatnya memastikan hatiku baik-baik saja. Setelah kurasa cukup berbincang dan berdoa untuknya aku bangkit meninggalkan tanah pekuburan ini. Tapi, aku kaget saat menemukan sosok laki-laki yang tak aku kenal berdiri di belakangku.

“Maaf, ini benar makam mas Arya?” tanyanya ragu-ragu.
“Iya, anda siapa ya?” aku sedikit kaget karena seingatku aku mengenal semua teman Arya dengan baik. Tak ada satu temannya pun yang luput dikenalkan oleh Arya padaku.
“Maaf, saya Arif. Kamu pasti Ifa?” dia menjabat tanganku. Dan akhirnya aku menunggunya berdoa di samping makam Arya. Setelahnya kami berbincang di sebuah warung di depan kompleks pemakaman.

“Saya ada di penerbangan itu, saya ada di penerbangan dari Belanda itu. Saat itu saya sedang mewakili kampus untuk lomba di sana. Saya ga sendirian, saya dengan 5 orang teman saya. Dan kebetulan saya duduk di samping Mas Arya.” Dia memulai pembicaraan. Hatiku tiba-tiba sakit. Seperti memori 4 tahun lalu direka ulang di depan mataku.

“Sepanjang perjalanan kami ngobrol tentang banyak hal dari situlah saya tahu kalau Mas Arya adalah sosok yang sangat baik, pandai dan berkarakter. Itulah kenapa saya yang biasanya sangat membenci penerbangan jadi menikmati penerbangan pulang ke Indonesia saat itu.” Aku hanya terpaku mendengar cerita Arya.

“Sewaktu pesawat tiba-tiba oleng dan hilang kendali Mas Arya yang saat itu menolong saya. Sewaktu pesawat jatuh semua panik. Saya merasakan sakit di bagian kaki. Ternyata kaki saya terjepit jok tempat duduk depan. Kemudian mas Arya membantu saya keluar dengan sisa tenaganya. Kemudian dia mendorong saya keluar dari bangkai pesawat setelah memecahkan kaca. Saya berhasil keluar. Tapi setelah itu,,” Arif tak sanggup melanjutkan kata-katanya. Aku sudah tahu lanjutannya. Ini bagian yang diceritakan tim SAR pada kami keluarga korban. Pesawat yang masih belum stabil itu kembali bergerak dan jatuh terperosok ke lembah. Beruntung lembah di daerah Sumatra itu cukup mudah dijangkau oleh tim SAR. Jadi evakuasi korban dan pesawat cepat dilaksanakan. Aku menyeka air mataku.

“Maaf kalau setelah 4 tahun saya baru bisa datang untuk berterima kasih atas apa yang mas Arya lakukan. Karena beliau saya masih bisa hidup sekarang. Saya kesulitan mencari alamat mas Arya. Selama 4 tahun saya mencari.” Aku, tak tahu harus berkata apa. Hanya rangkaian-rangkaian kejadian yang berjalan cepat berputar di otakku.

“Oh iya, sesaat setelah saya keluar dari pesawat, mas Arya melempar bungkusan ini.” Arif menyerahkan bungkusan itu. Ada noda darah yang mengering di plastiknya.

“Saya sengaja tidak mengganti kantong plastiknya ataupun membukanya. Saya takut karena saya tidak berhak.” Aku membuka bungkusan itu. Sebuah kado. Di kartu ucapannya tertulis namaku. Aku membacanya dan menangis.
Dear Ifa,
Selamat ulang tahun, Fa.. aku tak tahu apa aku bisa mengucapkannya lagi tahun depan atau tidak, yang pasti sekarang aku hanya ingin ucapkan selamat ulang tahun, semoga mimpi-mimpimu segera terwujud. Dan semoga aku ada di bagian mimpimu, Fa.
That always love you,
Arya

Aku ingat betul, hari di mana Arya meninggal adalah hari ulang tahunku. Ya, hari ini juga aku berulang tahun. Dan kado ini harusnya sampai padaku 4 tahun lalu saat Arya kembali. Tapi atas kehendak Tuhan kado itu kembali padaku sekarang setelah 4 tahun Arya pergi.

Aku buka kado yang terbungkus rapi itu. Aku memandangnya dengan perasaan hancur. Ternyata isinya adalah semua foto kenangan, buku, dan barang-barang kenangan lain tetangku yang dia punya. Di dalam kotak ada secarik kertas kecil denga tulisan tangannya.
Aku bingung mau ngasih apa, jadi akhirnya aku putusin buat ngasih semua kenangan kita. Biar nantinya kalau aku ga ada kamu ga bakal kesepian. Aku titip barang-barangku di kamu. Aku juga titip hatiku. Biar saat aku pergi nanti, kamu tak perlu sedih. Selalu tersenyumlah Fa,,

Aku menatap semua benda itu nanar. Entah apa rencana Tuhan dengan mengembalikan semua memori ini. Yang aku tahu sekarang, Arya begitu siap dengan kepergiannya.

“Saya ga tahu rasanya kalau saya adalah kamu, tapi saya yakin mas Arya pasti ingin kamu segera berdiri dan menyudahi kesedihan ini. Dan saya tahu bagaimana rasanya ditinggalkan. Sabrina, salah seorang dari teman saya yang ada di dalam pesawat itu juga meninggal. Sabrina itu,, Sabrina itu adalah kekasih saya. Dia meninggal di depan mataku dan saya ga bisa melakukan apa-apa.” Aku terhenyak.

“Itu sebabnya saya perlu waktu yang sangat lama untuk menyampaikan kado ini. Maaf.. Saya sendiri butuh waktu untuk memulihkan hati saya.” Aku bisa membayangkan bagaimana seandainya aku ada di sana dan melihat Arya tanpa bisa menolongnya. Aku menatap Arif. Dia begitu tegar, aku malu.
***

Sore itu aku dan Arya bermain bersama di belakang rumahku. Saat itu umur kami baru 10 tahun. Sama-sama suka bercanda, sama-sama suka berlarian. Setelah puas seharian main di pekarangan, kami duduk di bawah pohon.
“Nanti seandainya kamu nikahnya ga sama aku, aku sendiri yang akan nyariin pengantin buat kamu.” Aku kecil memandang Arya bingung.
“Kenapa?”
“Karena aku maunya siapapun yang sama kamu nanti harus bisa jaga kamu sama kayak aku.” Kemudian dia tertawa dan berkata itu cuma gurauan.

Aku kecil yang masih berumur 10 tahun ga akan mengerti ucapan Arya saat itu. Tapi, aku sekarang tahu kalau Arya tak pernah ingkar janji. Arya mengirim calon suami untukku. Seseorang yang dia kirim bersama kenangannya untukku. Seseorang yang dia percaya akan menemukanku untuk menyampaikan kado ulang tahun untukku. Seseorang yang sama-sama berusaha menyembuhkan luka, yang berusaha melengkapi separuh hati yang hilang. Arif, kado terindah, terakhir, terbaik yang diberikan Arya untukku.

No comments: