Aku, Kamu, Mereka dan Alam

Aku, Kamu, Mereka dan Alam
Aku, Kamu, Mereka dan Alam... Pantai Gedong, 8 Maret 2011 bersama keluarga keduaku,,

Friday 25 March 2011

KOTAK

Aku masih mematung di tepi pantai ini. Memandang horison langit yang memerah dan akan berganti gelap. Aku masih bisa mengingat senyum simpul itu. Senyum yang tak akan pernah kulupakan. Senyum yang menjadi alasan aku selalu menyempatkan soreku untuknya. Senyum dari seorang yang aku sendiri tak tahu aku membencinya atau sebaliknya. Seingatku, aku lebih dari hormat padanya.
Deburan ombak di pantai ini mengingatkanku pada sore itu saat aku pertama kali melihatnya. Orang yang tak pernah kupandang dan kukenal padahal dia selalu ada di sekitarku. Terkadang memang benar apa kata orang, kita hanya melihat apa yang ingin kita lihat. Mata dan fikiran kita hanya mencerna apa yang kita kenal. Dan seperti itulah, dulu dia hanya bagian kecil yang tidak penting atau semacam peran figuran yang hanya numpang lewat. Sampai akhirnya, sore itu aku tak sengaja mengenalnya. Aku tak sengaja tahu namanya. Aku tak sengaja melihat senyumnya. Dan aku tak sengaja jatuh hati padanya.
Pikiranku menolak tapi hatiku berkata lain. Terlalu sulit melewatkan senyumnya. Aku sering mengutuki hatiku yang berharap melihat pemilik senyum itu. Walaupun sudah melawan tapi akhirnya aku menyerah. Setiap sore aku mencuri menit dari sang waktu untuk sedikit melihat sosoknya. Hanya untuk memastikan dia baik-baik saja. Tanpa perlu mendekat apalagi menyapanya. Aku tak berani.
Mungkin benar, aku sudah gila. Setiap sore menghentikan waktu, mencuri detik-detik agar bisa melihatnya. Setelah itu barulah aku kembali acuh dan berjalan sebagaimana biasa. Aku tak tahu peranku di potret hidupnya. Mungkin aku hanya figuran yang numpang lewat atau bahkan tak terlihat oleh matanya seperti halnya unidentified object. Dan aku sungguh tak ingin tahu posisiku. Cukup dengan aku melihat senyumnya setiap sore.
Sore itu, aku tahu kalau aku bukan makhluk tak dikenal baginya. Dia tahu namaku. Aku sendiri tak tahu dari siapa dia mengenalku karena aku tak pernah memperkenalkan diriku. Yang penting aku kini tahu bahwa aku bisa jadi figuran yang diingat otaknya bukan sekadar sebagai peran orang lewat yang tak dikenal. Dan entah kenapa sore itu senyumku tak berhenti sampai malam tiba. Dan senyumku membawa nama itu ke dalam perbincangan malamku dengan Tuhan. Di dalam ceritaku pada Tuhan, aku menyematkan cerita tentangnya. Ini pertama kalinya aku berani bercerita pada Tuhan tentangnya. tentang senyumnya. Padahal aku tahu, sangat tahu bahwa tanpa aku bercerita pun Tuhan tahu isi kepala dan hatiku.
Aku pulang saat hari sudah benar-benar gelap. Ibu pasti marah padaku. Seperti kemarin beliau marah saat aku menggosongkan telur goreng buat kakekku. Aku melirik jam tangan, pasti sudah maghrib. Pantai sepi, hanya tinggal bapak-bapak yang sibuk membereskan roda-roda sewaan seperti halnya aku yang sibuk membereskan kepingan ingatanku tentang dia.
Dalam perjalanan pulang kali ini aku benar-benar mengemasi kenangan tentangnya. Memasukkan satu per satu memori ke dalam kotak kecil ini untuk dikunci dan tak pernah dibuka lagi. Tapi, salahkah kalau dalam perjalanan ini aku mau memutar sekali lagi memori itu sebelum semuanya aku relakan pergi. Ah, tak ada salahnya batinku. Pikiranku melayang kembali ke sosoknya. Kata seorang teman dekatku, setiap orang yang bisa melihat pasti tahu sorot mataku untuknya. Tapi benarkah? Padahal aku sudah menutupnya rapat. Tapi memang benar walau aku tak pernah berbincang dengannya, sorot mataku tak bisa berbohong.
Aku takut. Aku semakin takut dengan perasaanku. Aku mencari berbagai cara memperbaiki sikap dan hatiku. Aku tak ingin orang tahu senyumku untuknya. Walau terkadang diriku refleks mencuri pandang padanya. Aku takut dan hanya Tuhan yang tahu betapa takutnya aku. Perasaan ini semakin rumit. Hatiku sakit saat harus bercerita pada Tuhan tentang rasa rakutku. Mungkin Tuhan cemburu akan sikapku, makanya Tuhan memberikan rasa sakit tanpa sebab seperti ini.
Aku berusaha menghindar darinya terus menghindar dan mencoba tak peduli dengan kehadirannya. Susah memang, tapi aku yakin bisa. Aku memunculkan sendiri persepsi buruk tentangnya, bukan maksud menjelekkan tapi aku ingin mengusirnya. Sementara cara ini sangat berhasil. Aku tak lagi memandangnya. Aku tak lagi melihatnya. Aku sudah mulai lupa sosoknya. Tapi ternyata aku salah, rasa itu ternyata menimbun semakin menggunung sampai akhirnya aku tak bisa lagi membedakan nyata dan mimpi. Membedakan kenangan yang nyata dan kenangan yang hanya hidup di ingatanku. Aku pikir kini aku semakin gila.
Bukan ingin menyalahkan, tapi aku benci sore itu. Aku benci kenapa sore itu mempertemukanku dengannya. Dan aku mengutuki mataku yang menangkap senyum simpul itu.
“Kita itu boleh berharap, bagi Allah kan ndak ada suatu hal yang susah tho.” Itu kata seorang temanku. Tapi aku merasa berharap pada kesemuan. Kadang, aku ingin bertanya “adakah aku di mimpimu?” Aku benar-benar seperti orang bodoh yang bertanya pada bayangan di dinding. Dalam sepi aku mengalunkan senandung memanggil nama yang tak bisa digapai. Apalagi menggapai, menyapa saja aku tak mampu. Dan aku masih saja membisikkan cerita pada Tuhan tentang bayangnya.
Aku ingin terlempar dan amnesia hingga semua sosoknya hilang. Meskipun jujur, aku tak pernah lagi melihatnya sekarang. Aku sungguh tak berani melihat sosoknya sekarang. Sungguh.
Sekarang setelah lama aku menghindar darinya, aku ingin membebaskan semuanya. Aku ingin mengemasi semuanya. Setelah ini tak ada lagi ceritaku pada Tuhan tentangnya. Aku tahu Tuhan pasti bosan mendengar keluh kesahku tentangnya. Mulai saat ini, malam-malamku akan menjadi milik Tuhan seutuhnya tanpa ada curhat colongan tentang senyumnya.
Aku akan membuang jauh sosok itu. Aku tak mau membuka lagi kotak kecil berisi senyum simpul itu. Aku takut jatuh dari mimpi. Terlebih lagi, aku takut kalau hatiku jatuh lagi. Dalam perjalanan pulang ini, aku meninggalkan kotak ini di pantai. Aku tak akan mengambilnya. Biar ombak menyeretnya pergi jauh, sejauh mungkin hingga tak ada yang menemukan kotak berisi senyum simpul itu.
“Sekarang, tak akan ada simpul dan senandung untukmu. Kotak ini akan membawa senyum itu pergi. Selamanya..”


25 Maret 2011
Di inspirasi oleh lagu Simfoni Hitam - Sherina
cerita ini hanya fiktif belaka, kalau ada persamaan murni kebetulan balaka.

2 comments:

dingox said...

halo salam kenal
:D
hehehehehe

Ny. Auliya said...

kayak ga kenal ae -____-"