Aku, Kamu, Mereka dan Alam

Aku, Kamu, Mereka dan Alam
Aku, Kamu, Mereka dan Alam... Pantai Gedong, 8 Maret 2011 bersama keluarga keduaku,,

Friday 18 March 2011

Cerita Jalanan


Aku mengenalnya lebih dari orang yang lewat setiap hari di jalan itu. Aku mengenalnya lebih dari seorang kawan yang mungkin tak ia punya sekarang. Aku mengenalnya, aku mengenal sosok tua itu. Tangannya sudah tak sekuat dulu, nampak garis keriput di pipinya. Kakinya pun mungkin sudah tak kuat menempuh jarak puluhan kilo yang dulu sering ditempuhnya setiap hari. Aku mematung memandangnya. Pak Tua yang sama yang kulihat beberapa tahun lalu.
Aku tahu, di tengah keterbatasannya dia mungkin bisa meminta-minta belas kasihan orang lain. Tapi baginya, bukan hidupnya kalau harus menengadahkan tangan ke setiap orang yang lalu lalang di depannya. Walau kadang, bagiku itu terlalu egois. Aku yakin, perutnya sudah berdemo sedari tadi untuk mendapat makan. Sosok tua itu tetap di sana, memandang langit luas. Entah apa yang dia bicarakan dengan langit, atau mungkin dengan Tuhan. Diskusi itu hanya untuknya dan Tuhan, bukan untukku yang hanya lalu baginya.
Pernah kumelihatnya begitu gembira dengan sapu di tangannya. Hari itu, dia dipercaya sebagai tukang sapu trotoar. Pagi buta dia sudah menenteng sapu dan pengkinya. Berjalan menyisir trotoar. Dia bersihkan tiap sudut jalan sampai tak ada lagi kotoran di sana. Hanya dalam hitungan jam sampah kembali menumpuk. Dia dengan senang hati menyapu lagi, membersihkan tiap jengkal trotoar. Aku membaca wajah bahagia di raut wajahnya. Mungkin karena sebentar lagi akan ada uang untuk membeli sesuap nasi. Atau mungkin karena dia mencintai jalan ini.
Tapi semua itu tak lama. Dia kehilangan pekerjaan. Bukan hanya pekerjaan, tapi dia kehilangan hidupnya. Seseorang menggantikan pekerjaannya. Dia masih muda dan konon dia kerabat kepala kebersihan di sana. Ironis!
Hampir setengah usiaku di habiskannya di jalanan. Aku yakin, pasti bukan seperti ini hidup yang dia mau. Di dalam hatinya mungkin ada mimpi tentang hangatnya sebuah rumah dan keluarga. Dua hal yang mungkin tak ia miliki sekarang. Tapi, dia sungguh sosok dengan hati seluas samudra. Baginya, jalan adalah rumahnya, langit luas adalah atap dan emperan toko adalah alas tidurnya. Keluarga? Tentu dia punya. Gerombolan anak jalan yang biasa mengamen dan mengemis di jalanan adalah keluarganya. Dalam pikirnya, Tuhan selalu adil dalam takdir. Tak ada yang salah dengan hidupnya. Dia sangat beruntung di semua hal.
Tak dipungkiri, aku mengaguminya. Sosok itu memberi perlindungan pada anak-anak jalanan meskipun dia sendiri butuh sandaran. Dia membagi makanan bahkan rela tak makan demi keluarga yang dia punya sekarang. Aku kadang mengutuki kejamnya jalanan yang menyisakan sengsara untuk orang sepertinya. Tapi lagi-lagi bukannya dia memusuhi jalanan, dia berterima kasih pada jalanan. Jalanan memberinya rumah dan keluarga.
Mungkin dia sudah lupa kalau jalan yang sudah merampas hidupnya. Merebut rumahnya dan membuat satu per satu keluarganya hilang. Kala itu, pelebaran jalan menjadi alasan dia harus merelakan rumah peninggalan keluarganya. Harta satu-satunya yang dia punya. Apa hendak dikata, daripada ribut dengan pasukan berseragam yang menenteng gelar satpol PP. Siang itu penggusuran itu terjadi. Dia hanya bisa pasrah melihat rumah tempat di mana dia dibesarkan atau bahkan mungkin dilahirkan dirobohkan paksa.
Janji pemerintah pun tinggal kenangan. Alih-alih menerima uang ganti rugi atas rumahnya, rumah tinggal sementara pun tak kunjung ada. Beberapa orang yang bernasib sama sudah enggan menanti ketidakpastian. Satu per satu mereka pergi. Meninggalkan kota yang semakin garang ini. Sedangkan dia masih bertahan. Dia percaya masih ada kemurahan dari pemimpin yang dia pilih semasa pemilu. Tapi apa daya, balasan bagi seseorang yang tidak punya pangkat adalah sama, tidak didengar.
Perlahan orang yang dia kenal sebagai keluarga meninggalkannya. Istri, anak, menantu dan cucu semua pergi. Mungkin mereka tak tahan hidup di jalan tanpa kepastian dan uang. Mereka mengutukinya bahkan memaki hidup yang dia punya sekarang. Dia terpuruk.
Dia bertahan hidup dengan segala apa yang dia punya. Memulai hidup baru dengan jalan sebagai rumahnya. Kini aku tahu dia sangat menyukai tiap jengkal jalan ini karena jalan ini dulu adalah rumahnya. Tempat dia tertawa, gembira dan bersuka. Andai saja kebijakan pelebaran jalan itu tak pernah ada, mungkin akan lain jalan ceritanya. Tapi Tuhan bukan menciptakan takdir tanpa maksud. Aku melihat jalanan membentuk Pak Tua menjadi sangat bijaksana jauh dari sosoknya dulu yang tak suka berderma.
Aku melihatnya lebih dari sekadar aksesoris jalanan. Aku melihatnya sebagai sosok tegar dan bijaksana. Satu demi satu peluh keringatnya membuktikan dia tak pernah menyerah dengan takdir. Dia masih melawan jalanan. Dia tak pernah menyerahkan dirinya pada jalanan. Dia membawa keyakinannya hanya pada Tuhan. Tuhan selalu adil, begitu keyakinannya. Dia juga masih percaya pada pemerintah. Walaupun banyak ketidakadilan yang dia kecap dari kebijakan orang-orang yang duduk di sana. Dia masih percaya bahwa suatu saat pemerintah ingat akan janjinya. Meskipun dia tahu jumlah mahasiswa yang turun ke jalan menentang kebijakan pemerintah semakin banyak. Meskipun dia tahu harga kebutuhan yang terus menanjak akibat permainan politik para penguasa. Dia tahu tapi dia selalu percaya. Percaya kalau Tuhan selalu adil. Dan aku percaya Tuhan sayang padanya.
Pagi ini aku tak akan lagi melihatnya di jalan ini. Tak akan lagi ada sosok Bapak Tua yang kulihat berdialog dengan langit. Tak akan lagi ada sosok yang berbagi makan dengan bocah-bocah pengamen dan pengemis jalanan itu. Dia sudah pergi kemarin. Bukan karena dia sudah muak dengan jalan ini. Dia pulang ke tempat seharusnya dia berada. Tempat yang akan membawa damai untuknya.
Tuhan memang benar-benar menyayanginya. Dia memberinya hidup yang lebih abadi di sisi-Nya. Kemarin, jalanan mengantarkannya pulang. Sebuah metromini oleng dan menghantam tubuh tuanya. Tak ada tangis sedih di sana. Hanya ada beberapa orang yang melintas dan menggumam bagaimana kejadiannya lalu pergi. Mereka lebih tertarik mengobrolkan tentang kecelakaan itu dari pada nasib sosok tua yang penuh darah itu. Jenazahnya pun tak jelas terkubur di mana. Bisa jadi tergeletak di kamar mayat rumah sakit dan siap jadi bahan percobaan para calon dokter.
Meskipun demikian, aku tetap yakin Tuhan menyayanginya. Tuhan tak pernah melihat orang dari bagaimana dia mati. Tuhan lebih perduli bagaimana seseorang menghabiskan masa hidupnya. Mungkin dia tak pernah memberi sumbangan atau berderma seperti yang orang lain kerjakan. Tapi dialog-dialog kecilnya dengan Tuhan selalu mengisi langkahnya. Dan kini, diskusi panjangnya di tengah-tengah malam terjawab. Tuhan memberinya hidup yang lebih baik dan tenang. Jauh dari gemuruh dan asap polusi jalan. Tuhan selalu memperdulikannya seperti aku, tong sampah jalanan yang tak akan lupa dengan ceritanya.
  

Rabu, 2 Maret 2011         
17:12 WIB
Atap rumah dengan naungan mendung dan angin semilir

No comments: