Aku, Kamu, Mereka dan Alam

Aku, Kamu, Mereka dan Alam
Aku, Kamu, Mereka dan Alam... Pantai Gedong, 8 Maret 2011 bersama keluarga keduaku,,

Sunday 4 December 2011

Tentang Karna dan Tentang Aku

Cerita ini dibuka dengan prolog dari seseorang yang duduk di belakang kelir. Dialah tokoh sentral malam ini, dialah yang akan membawa kita hanyut dalam kisah Pandhawa dan Kurawa dengan berbagai intrik dan kisah kasih di dalamnya, dia yang biasa disapa ki Dalang. Suaranya melengking membuat semua mata tertuju ke lenggok tangannya.

Akhirnya, sorot lampu kecil di atas kelir (layar) menampakkan bayangan gunungan pertanda cerita ini akan bergulir. Aku duduk di sini, menyimak semua perkataan sang Dalang meskipun ada beberapa kata yang hanya mengira-ngira saja artinya. Suara sang Dalang yang renyah dan alunan gamelan serta nyanyian sinden menggema di sini, di pagelaran wayang kali ini. Dan di sinilah aku duduk di antara desak dan ramai penonton yang antusias melewatkan malam dengan tontonan rakyat ini.


Cerita mulai klimaks. Muncul tokoh Karna yang ternyata adalah saudara tunggal ibu dengan Pandhawa. Dia kakak yang seharusnya asah asih asuh dengan kelima adiknya akan tetapi muncul sebagai rival bahkan tega membunuh Gatotkaca, keponakannya sendiri. Kisah percintaan antara Arjuna dan perebutan sang pujaan hati antara Karna dan Arjuna. Ah, intrik! Aku menarik nafas dan kembali menyimak cerita sang Dalang. 

Seperti biasa, tak akan ada pertunjukan yang hening dan suara hanya untuk tokoh sentral. Di sinu ada mulut-mulut lain yang ga akan berdiam untuk sekedar menimpali atau malah membicarakan masalah pribadi mereka. Setengah diriku terusik. Konsentrasiku buyar dan pada akhirnya pikiranku melayang menuju sebagian bayangan diriku yang lain. 

Aku melihat bayanganku di teras sore ini. Membawa sekardus barang yang siap disingkirkan. Melangkah gontai bagai Karna yang telah merasakan kekalahan telak dari Arjuna. Berusaha baik-baik saja tapi gagal. Luka yang menggores masih tajam ternyata, ngilu! Bergegas sebelum ada pikiran lain yang mengacau. Dan kini, semua sudah beres. Semua barang ini tidak akan ada lagi. Tadi, untuk terakhir kali aku memandangi cincin ukiran nama itu. Untuk sekedar memastikan tak ada langkah yang tersisa. Memastikan bahwa waktuku sudah cukup untuk berdamai dengan diri sendiri. Semua kenangan memang semestinya tak lagi di simpan. 

Bunyi gemuruh gamelan menghantarkan bayanganku kembali di sini, di riuh tepukan penonton yang menyemangati duel antara Karna dan Arjuna. Sang Adipati Karna seharusnya tak menuruti emosi yang pada akhirnya menjauhkan dia dari akal sehat tentang jati diri dan sifat dasarnya yang baik. Pada akhirnya semua gelap, aliran darah Dewi Kunthi yang bersarang di nadinya pun tak bisa membuka matanya tentang kebenaran dan kesia-siaan perbuatannya melawan adik-adiknya sendiri. Aku berbisik pada bayangan diriku, itulah Karna dan aku tak mau menjadi Karna. Jika Karna membawa sakitnya hingga membusuk dan mengubah jati dirinya maka aku akan memilih melupakan. Cukup ada satu Karna yang tak belajar dari kesalahan. Aku pun bukan Kurawa yang selalu berfikir buruk atas semua tindakannya. Maka inilah aku, melupakan dan berdamai dengan diri sendiri.

Perang pecah! Kurawa dan Pandhawa berhadapan di ajang pertempuran yang sesungguhnya. Dan disitulah Karna yang menjadi panglima perang para Kurawa melawan 5 adiknya yang tegak kokoh membela kebajikan. Hai Karna, dendammu membawa dirimu sangat jauh. Dan satu per satu pihak Pandhawa maupun Kurawa jatuh. Termasuk Karna yang harus mati di tangan adiknya sendiri, Arjuna. Miris!

Sang Dalang mulai mengangkat lagi gunungan dan meletakkannya di tengah layar. Kata-kata penutup pun lancar terucap dari mulut sang Dalang. Meskipun aku kurang mengerti apa yang diucapkan oleh sang Dalang dalam bahasa kawi, aku cukup bisa mengerti bahwa itu berarti sayonara, pertunjukan selesai dan sampai jumpa di lakon berikutnya. 

Satu per satu barisan penonton bubar. Wajah mereka terlihat puas dengan akhir cerita pewayangan yang selalu happy ending. Beberapa bahkan masih mengingat alur cerita dan memperbincangkan pertunjukan kesenangan orang Jawa ini. Ada yang tiba-tiba berceloteh, "kurang nih ceritanya..harusnya Karna ga mati." Ada juga tanggapan yang membela sang pahlawan Arjuna. Ya, atas semua yang telah diakukan Karna pada Pandhawa, pada Arjuna, adik seibunya, Karna pantas menerima ganjaran kematian. Tapi, harusnya Arjuna mengakhiri nyawanya dengan lebih terhormat, bukan pada saat Karna tengah lengah di medan perang. 

Kehidupan itu sama, tak ada bedanya dengan lakon pewayangan, ada takaran akhir bahagia masing-masing bagi tiap orang. Akhir cerita bahagiamu belum tentu akhir bahagiaku. Seperti halnya bagi Karna. Akhir bahagia Pandhawa nyatanya tragis bagi sang adipati ini. Karna tersungkur dengan panah tertancap di kepalanya. Begitulah, dan akhir cerita seseorang bukan berarti akhir cerita bagi orang lain. Mungkin kisah Kurawa berakhir pada pertempuran kali ini, tapi bagi Pandhawa mereka baru memulai memerintah Hastina. Itu hidup! Hidup yang harus kita perjuangkan.

Apapun itu aku suka cerita wayang, selalu, akhir cerita pewayangan bisa ditebak muaranya, kebaikan mengalahkan keburukan. Pandhawa, simbol kebaikan, akan mengalahkan Kurawa, simbol keburukan di jamannya. Dan harusnya itu pun masih relevan sampai akhir jaman nanti, baik akan ada di atas buruk dan mereka yang baik selalu berakhir bahagia. Akan tetapi, ramalan Jayabaya mulai menampakkan diri satu per satu. Wolak-walik ing jaman, yang buruk terlihat baik, yang benar jadi terlihat aneh. Beginilah.. Tanda-tanda akhir jaman akan segera datang.

Aku tak kenal siapa itu Arjuna, Karna atau Jayabaya, yang aku tahu sekarang aku tengah  selesai berdamai dengan diriku. Aku tak mau menjadi Karna yang menyimpan kenangan buruk hingga lukanya membusuk dan menggerogoti hatinya. Aku hanya ingin melupakan semuanya. Cukup ada satu Karna di dalam tokoh pewayangan. Dan aku terus melanjutkan ceritaku sendiri meski tirai pertunjukan Arjuna dan Karna sudah tertutup. 


No comments: