Aku, Kamu, Mereka dan Alam

Aku, Kamu, Mereka dan Alam
Aku, Kamu, Mereka dan Alam... Pantai Gedong, 8 Maret 2011 bersama keluarga keduaku,,

Sunday 1 January 2012

Kumbhakarno, Sang Pahlawan Alengka


Kumbhakarno bukanlah lakon utama di dalam pementasan Ramayana. Dia pun juga bukan tokoh penting seperti halnya Anoman yang menjadi pahlawan penyelamat sang dewi Shinta. Kumbhakarno hanyalah tokoh penambah dalam cerita akhir peperangan Rama dan Rahwana. Kumbhakarno hanya sekelumit cerita di mana kita masih bisa percaya bahwa masih ada lakon berhati mulia di tengah carut marut Alengkadiraja.

Siapa yang tak kenal Rahwana. Raja dzalim yang mengibarkan bendera perang pada Rama dan Ayodya dengan menculik Shinta. Seorang raksasa yang memerintah rakyatnya dengan prinsip yang penting saya senang. Seorang pemimpin bertangan besi dan arogan kepemimpinannya. Di bawah Rahwana, Alengkadiraja tak ubah seperti negeri bobrok pemuja kejayaan, harta dan tahta. Demikian pula yang tercermin dari tingkah laku beberapa pemuja setia sang raja, Rahwana. Mereka menurut dengan semua titah sang Raja tanpa memperdulikan benar atau salah. Ya, Alengkadiraja yang malang.


Kumbhakarno hidup di sana. Dia menyaksikan bagaimana bobrok dan hancurnya Alengka saat itu. Kumbhakarno lahir dari rahim yang sama dengan Rahwana. Perawakannya pun tak berbeda jauh. Sama-sama terlahir dalam wujud seorang raksasa yang idetikkan dengan keburukan dan kejam. Kumbhakarno tak seberuntung Wibisana, adiknya, yang terlahir sempurna dengan wajah ksatria dan hati mulia. Tapi Kumbhakarno tak lantas seperti Rahwana yang arogan dan semena-mena. Ya, Kumbhakarno, raksasa berhati mulia yang terus membela kebajikan. Kumbhakarno pun akhirnya menjalani tapa nedra, sejenak menepi dari sesak aroma kebobrokan Alengka. 

Berbahagialah Alengka yang masih mempunyai ksatria seperti Kumbhakarno. Berbahagialah Rahwana yang masih memiliki adik seperti Kumbhakarno.

Jauh dari tapa nedra Kumbhakarno, Alengka geger dengan penyerangan para pasukan kera di bawah pimpinan Anoman. Perang pecah di Alengka karena ulah sang raja arogan. Rahwana mulai kebingungan karena satu per satu senopatinya gugur di medan perang. Setelah akhirnya Wibisana pun pergi karena jengah dengan tindak tanduk Rahwana, terpikirlah Rahwana tentang Kumbhakarno. Diutusnya Indrajit untuk menjemput adiknya yang sedang tapa nedra. 

Indrajit susah payah membangunkan sang paman yang sedang tertidur pulas dalam tapa nedranya. Emosi Kumbhakarno meluap saat Indrajit menarik bulu betisnya dan mengembalikan kesadarannya. Indrajit segera menyampaikan titah sang Prabu Dasamuka pada Kumbhakarno. Di sinilah perang batin itu bermula. Mana mungkin seorang Kumbhakarno akan melawan Rama yang sangat ia hormati sebagai perlambang kebajikan di dunia? Ah, seandainya ia seberani Wibisana yang memutuskan mengambil jalur memutar melawan Rahwana.

Tapi sekali lagi, berbahagialah Alengka yang masih mempunyai ksatria seperti Kumbhakarno. Berbahagialah Rahwana yang masih memiliki adik seperti Kumbhakarno.

Hati sang panglima Alengka ini tak tahan melihat negerinya hancur. Tak tahan hatinya melihat rakyat Alengka ikut menanggung ulah sang Dasamuka. Kumbhakarno pun turun ke medan laga mengkhianati hati nuraninya demi negerinya tercinta, Alengka. Meskipun dalam hatinya dia merasa bersalah harus bertempur dengan simbol kebajikan yang diagungkannya. Sikap yang bahkan seorang Wibisana pun tak memilikinya. 

Lihatlah Kumbhakarno! Dia yang akhirnya harus rela mati oleh panah sang Rama. Dia mati terhormat. Dialah pahlawan Alengka. Dia menyungging senyum di saat terakhirnya. Dia tak pernah menyesal akan keputusannya karena dia tak mati demi Rahwana tapi demi Alengka, negerinya tercinta.

Kumbhakarno tak pernah meminta untuk dilahirkan sebagai seorang yang berperawakan buruk. Tak juga meminta dilahirkan dari rahim yang sama dengan Rahwana. Ya, siapapun tak akan bisa meminta untuk terlahir sebagai apa dan siapa. Tapi inilah Kumbhakarno, seorang raksasa yang hatinya sejernih mata air. Inilah Kumbhakarno, yang sampai titik darah terakhirnya masih selalu mengutamakan kejayaan rakyat Alengkadiraja.

Belajarlah dari Kumbhakarno dalam kesetiaan. Belajarlah darinya bagaimana mencintai negara tanpa rasa pamrih. Belajarlah karena hidup itu tak cukup dengan ada di jalur yang benar. Perlu suatu saat kau keluar dari lajurmu dan melawan seluruh dunia.

3 comments:

gitawiryawan said...

Setiap wayang, baik protagonis atau antagonis, memiliki kesunyiannya masing-masing.
Saya bayangkan mereka, jika mempunyai hati, menahan siksa batin yang teramat pedih. Dan mereka hanya bisa menunggu waktu tancap kayon, waktu dalang selesai mempermainkan mereka.

heri said...

Kumbokarno berperang bukan berniat membela kakaknya, bukan pula ingin mempertahankan Shinta, tapi dia ingin membela tanah air yg telah dirusak Dasamuka, dia teringat sumpah setia membela tanah air, sumpah seorang lelaki, sebagai seorang ksatria yg pantang dilanggar

Ny. Auliya said...

benar... :D