Aku, Kamu, Mereka dan Alam

Aku, Kamu, Mereka dan Alam
Aku, Kamu, Mereka dan Alam... Pantai Gedong, 8 Maret 2011 bersama keluarga keduaku,,

Sunday 25 September 2011

Bitterschokolade (part II)

Aku tak tahu apa ini benar. Aku sudah benar-benar kehabisan cara untuk menemukannya. Apalagi semenjak aku pindah ke Surabaya. Semua menjadi jauh. Dan keinginanku untuk kembali sekedar mengucapkan "apa kamu baik-baik saja, Nin?" tak pernah terjadi. Semua jadi semakin ruwet, ya bagai benang kusut yang tak kunjung ketemu ujungnya. Ini semua salahku Nin, percayalah harusnya aku tak seceroboh itu mengambil keputusan. Harusnya aku tak bersikeras menentang Ibuku. Dan harusnya 25 tahun menjadi anak Ibuku aku tahu cara yang tepat menghadapinya. Maafkan aku, Nin..

Tiga hari lalu aku dapat proyek di Semarang. Kau tahu betapa senangnya aku saat kembali menginjakkan kaki di kota Atlas ini. Menyusuri jalan pandanaran sebelum akhirnya menikmati suasana Simpang Lima. Kota ini ga banyak berubah Nin. Dan aku harap kamu juga ga berubah. Dan semoga aku belum terlambat untuk menemuimu. Sore nanti aku akan menyempatkan datang ke rumahmu. Aku tahu aku tak akan diterima di sana setelah yang kulakukan hari itu. Tapi setidaknya aku mencoba Nin.


Pintu rumah itu terkunci rapat. Kosong tak berpenghuni. Dari tetangga dekatmu aku tahu kalau Ayahmu sudah meninggal 3 tahun lalu karena stroke dan kamu, Ibu dan adikmu pindah ke Jakarta. Kalian sudah lama tidak ke sini. Aku bingung Nin, haruskah aku mencari ke seluruh pelosok Jakarta Nin? Bahkan Semarang saja aku tak sanggup menemuimu, apalagi Jakarta, kota besar itu. Aku lemas.

Ku arahkan mobilku ke arah Tembalang. Ke kampus kita, tempat pertama kali aku melihatmu dan Linda. Sudah berubah, semua sudah sangat berubah dari 5 tahun lalu. Sekarang semua ramai dan seperti tak ada ciri khas Tembalang yang lenggang. Sekarang di kanan kiri jalan banyak sekali pasangan mahasiswa yang sekedar makan atau menghabiskan malam. Aku prihatin melihat pakaian mereka yang semakin pendek dan ketat. Aku bergidik Nin, dulu saat kita di sini semua berbeda. Rasa malu itu masih kuat.

Tak ada tempat tujuan di sini. Aku hanya kangen mengenang masa-masa kuliahku di sini. Sejenak berputar-putar dan memastikan hatiku puas mengenang kenangan masa mudaku. Kenangan saat mengurus kegiatan kampus, menjalankan program BEM, kenangan bersama keluarga keduaku, dan kenangan menemukanmu, Nin. Kenangan itu memang selalu terasa indah apapun itu.

Aku ingat dulu bagaimana aku bertemu denganmu. Ya, karena kegiatan di BEM aku sering tertinggal dalam urusan kuliah. Sering bolos dan dapat C saat ujian. Itu biasa. Sedang kau, Prasastina Aryandari adalah sosok terbaik di jurusan ini. Kamu 2 tahun di bawahku tapi toh kita lulus bersamaan. Malu aku mengenangnya kembali. Aku melihatmu saat aku harus mengulang di mata kuliah Kalkulus. Kamu duduk di barisan depan dengan anggun. Jilbabmu melambai indah menutup apa yang seharusnya muslimah tutup dari penglihatan yang bukan mahramnya. Cantik, ya siapa pun pasti sepakat tentang hal ini.

Aku tahu namamu dari Bagus, anak PSDM BEM. Dia lantas bilang, "hati-hati, bang. Jaga itu hati ama pikirannya. Lagi musim jatuh cinta lho." Aku terkekeh. Mencoba mengelak tapi sosokmu sudah terlanjur terekam. Sekarang, walau jarak 100 meter pun aku bisa mengenalimu dari jauh. Kutepis rasa itu perlahan Nin. Dan aku berhasil. Aku kembali normal dan kembali menjadi biasa walaupun berbincang denganmu. Dan tibalah saat itu, saat kelulusan. Seperti biasa, kamu menduduki posisi puncak dan Linda di posisi berikutnya, sedangkan aku harus puas di barisan tengah ke bawah. Setelah acara wisuda, kuberanikan diri menemui Arya, sepupumu yang juga temanku. Aku minta padanya untuk dikenalkan lebih dekat denganmu dan kuutarakan niatku meminangmu. Arya memelukku dan mengatakan tidak ada yang lebih baik dariku untuk jadi calon sepupunya. Sungguh sambutan yang hangat.

Dari Arya juga aku tahu bahw kau bersedia menerima lamaranku. Aku sangat gembira. Akan tetapi aku melupakan satu tahap, aku lupa memberitahukan semua ini pada orang tuaku. Dan betapa kagetnya aku saat mereka menolak rencanaku. "Nina kuwi sapa? Anake sapa? Seka keluarga endi? Ibu ga setuju kalo kuwe nikah ama wong sing sembarangan! Ingat Le, bapakmu kuwi ningrat, aja sembarangan!" Aku kaget. Ternyata Ibu sampai semarah itu. Kuredam emosi Ibu dan coba menjelaskan dengan baik siapa Nina dan latar belakang keluarganya. Aku juga menunjukkan foto Nina, tapi alangkah kagetnya aku ketika Ibu brkata "Ayu sih ayu, tapi apa iki? Jilbaban kayak wong Arab, ga ngetokke Jawane. Apa yang nanti bakal Ibu bilang pas dia tak ajak ke arisan? Malu Ibu, Le.. Masa istrimu kuno kayak ngunu? Malu Ibu,, Malu!" Aku kehabisan kata. Sedang Bapak hanya mengernyit dan berlalu tanpa mau membahas rencanaku melamar Nina sore ini. Apaa yang harus kulakukan Nin? Aku kebakaran jenggot.

Kucoba menemui Arya, kuceritakan apa yang terjadi. Dia meledak Nin, hampir saja seluruh wajahku babak belur dihajarnya. Aku frustasi. Arya juga, dia juga merasa bersalah padamu dan keluargamu. Keluargaku sudah bersikukuh, apalagi Ibu berniat mengenalkanku pada Astrid, sepupu jauhku. Astrid dianggap Ibu sepadan dan bisa jadi istri yang Ibuku banggakan. Aku sungguh ingin berteriak kenapa keluargaku sangat kolot dengan pernikahan. Toh, yang akan menikah adalah aku. Bukan Ibuku. Sempat terfikir untuk tetap menjalankan semua ini, toh aku tak butuh wali untuk menikah. Tapi nantinya semua akan jauh lebih sulit dan Nina akan semakin menderita. Dan, ridho Allah ada di keridhoan orang tua, aku membanting diri di kasur. Dan terakhir, ini mungkin sujudku yang paling lama, "Allah...kuatkan aku!"

Akhirnya, aku menguatkan diri datang ke rumahmu. Sendirian, tanpa orang tua apalagi seserahan yang biasa orang Jawa bawa sewaktu melamar seseorang. Keluargamu menyambutku hangat meskipun agak aneh dengan kedatanganku yang sendiri. Aku tak melihatmu Nin, mungkin kau memang tak akan menampakkan dirimu sebelum semua proses selesai. Aku kikuk, tak tahu harus mulai dari mana. Akhirnya, tak tahu kekuatan apa yang membuatku sanggup mengatakannya. Semua terasa cepat sampai aku diusir dari rumahmu. Masih terdengar umpatan dan kata-kata kasar Ayahmu. Arya sudah menunggu di gerbang rumahku saat itu. Dan dua pukulan di wajahku tak terelakkan lagi. Perih tapi tak seperih hatiku. Membayangkan apa yang sudah kulakukan padamu, Nin.

Lamunanku buyar saat melihat sosok yang seperti kukenal. Ya, dia Linda. Sudah tidak dengan jilbab gaulnya tapi dengan gamis dan jilbab rapi serta seorang balita yang mendekapnya erat. Dia sangat berbeda. Aku menyapanya dan aku yakin dia sangat kaget melihatku tiba-tiba di belakangnya. Dan kini aku sudah ada di sebuah cafe. 

"Jadi kamu sudah pindah ke Surabaya?" Linda membuka pembicaraan.
"Iya.." 
"Dulu aku dan Nina sering ke sini. Entah untuk sekadar ngobrol atau baca buku, ya dia baca literatur aku baca novel." Linda meminum coklat panas yang dipesannya.
"Di meja ini, kami selalu memesan meja ini. Sama-sama sepakat kalo pemandangan di sini paling bagus untuk mengamati sekitar." Aku memandangi sekitar. Dan memang dari pojok sini semua bisa terlihat dan juga bisa melihat jalan. Mereka memang benar.
"Dan kau tahu, coklat panas di sini sangat enak. Aku dan Nina sudah mencari ke seluruh Semarang dan tempat inilah yang terenak." Aku lagi-lagi mengangguk, benar sekali, coklat yang barusan kuminum sangat enak. Tidak manis seperti kebanyakan minuman coklat di cafe lain. Rasanya pahit dan terasa sekali aroma wangi coklat.
"Bitterschokolade, Nina sering menyebutnya seperti itu." 
"Nama yang bagus.." gumamku. Aku tahu Nina adalah seorang yang pandai dalam berbahasa Jerman. Bitterschokolade, nama yang menggambarkan segelas coklat ini.
"Jadi soal apa ini Di? Soal apa yang membawamu sampai semarang?" giliranku untuk berpanjang lebar. Aku jelaskan aku sedang ada proyek di sini. Kemudian ingin mengenang masa lalu dengan memutari jalanan kampus dan akhirnya bertemu dengan Linda di jalan. Linda sudah bisa menebak arah pembicaraanku. 
"Dia pindah ke Jakarta, Di. Bukan karenamu, dia dapat tawaran pekerjaan di sana. Dan sudah seharusnya juga dia di sana." Linda mengerti sangat kekhawatiranku. Dia memberiku no HP dan alamat FBmu. Setelah itu dia pamit pulang karena Raisha, anaknya sudah sedari tadi mengantuk.

Aku masih ragu apa ini benar? Aku mengirimkanmu sebuah pesan singkat. Hanya berbasa-basi bertanya bagaimana kabar dan keadaanmu. Aku tahu Nin, kau pasti tak akan membalasnya. Tapi aku hanya ingin kau tahu bahwa aku mencarimu. Ah, apa yang terjadi padaku? Kenapa jadi sekampungan ini...

2 comments:

Adininggar Khintana 'orIenka' said...

mba, ada part IIInya tak? :)

Ny. Auliya said...

insyaAllah ada,, tapi kayaknya blm sempet publish.. masih di laptop.. :)

soalnya berasa kurang di mana-mana ceritanya..