Untuk semua Ayah terhebat di dunia, Untuk semua Ibu tertangguh di dunia.
Untuk semua anak yang terus belajar bagaimana menyayangi orang tua. Dan untuk
SAUJANA.
Senja
selalu memberikan semburat warna yang mengesankan. Campuran warna jingga lembayung dan sisa-sisa
terang sinar matahari. Warna yang romantis bukan? Ah, aku terngiang
kata-katanya kala itu. Kami menghabiskan senja bersama duduk di pelataran
Masjid megah yang entah kenapa sangat nyaman untuk menghabiskan waktu bersama
orang yang spesial. Dia menggenggam tanganku erat dan sesekali menggelayut di
pundakku.
“Sudah
lama banget Nin kita ga menikmati senja eperti ini?” dia menoleh ke arahku dan
tersenyum. Senyum yang aku kenal sejak dulu. Senyum yang membuatku jatuh cinta
dan selalu jatuh cinta padanya.
“Kita
akan lebih sering keluar bareng...” kalimatnya pelan dan menggantung. Ada ragu
yang tersimpan dibalik senyumnya. Ah, aku tahu kalimatnya ini hanya untuk
membuatku tersenyum. Dan aku tersenyum, meraih kepalanya yang sudah bersandar di
pundakku sedari tadi.
“Lihat
sini! Senyuuuum...” Fahri dengan segera mengabadikan kebersamaan kami.
“Bagus ga
hasilnya?” Lihatlah dia sudah berlari ke arah Fahri yang dengan bangga
memperlihatkan hasil karyanya. Senyum di wajahnya membuatku tahu bahwa hasil
fotonya bagus. Fahri berbakat soal fotografi. Ingat saat Fahri berhasil
memenangkan lomba fotografi sebulan lalu. Dia tak henti membanggakannya dan
menjadikannya topik sepanjang hari. Membuatku cemburu.
Fahri
berjalan ke arahku. Duduk di sampingku, basa-basi sekedarnya tentang masjid ini
yang selalu mempesona. Dan seperti biasanya Fahri dengan segera mengambil
seluruh perhatian ke arahnya. Ah, kenapa aku harus berbagi kebersamaan yang
seharusnya mungkin lebih indah kalau tanpa Fahri. Pikiran bodoh itu melintas
begitu saja di benakku. Lihatlah Ninda kini sudah beranjak pindah ke samping
Fahri dan memberikan seluruh pandangan matanya ke Fahri. Begitulah, selalu
seperti ini.
Senja
semakin meremang dan sudah saatnya kami pulang. Dia menggandeng tanganku. Berjalan
bersebelahan denganku. Fahri di sebelahnya terlihat repot membawa perlengkapan
kameranya.
“Tunggu
di sini ya aku ambil mobil dulu.” Fahri bergegas berjalan ke parkiran
menyisakan aku dan Ninda dalam hening.
“Nin?”
“Iya?”
jawabnya dengan menatapku lekat.
“Makan
malam dulu di rumah ya sebelum pulang?” Dia dengan segera mengangguk. Beberapa
menit kemudian sampailah kami di rumah kecilku. Dan jadilah malam ini rumah
kecilku ramai. Dia dan Fahri duduk di ruang tengah tertawa bersama saat membuka
album foto. Entah apa yang mereka tertawakan. Fahri tipe orang yang tidak
banyak bicara. Dia membuatku bertanya apa yang membuatnya begitu spesial bagi
Ninda.
“Ninda
pengen Papah kenal dulu.” Ingatanku kembali setahun yang lalu. Kalimat Ninda itu
jadi terdengar berbeda di telingaku. Ini menjadi penegasan bahwa lelaki ini
adalah pilihan anakku.
Sungguh
urusan persetujuan ini sangat sulit. Bagaimana aku harus melepaskan anak semata
wayangku untuk menjadi bagian hidup orang lain. Melepas tanggung jawabku sebagai
Ayah dan mempercayakan orang lain sebagai imamnya. Dulu Ninda selalu mengatakan
aku adalah laki-laki paling ganteng sedunia. Tapi akan ada laki-laki lain yang
menempati posisiku sebagai laki-laki paling ganteng di dunia Ninda. Aku harus
berebut bagian di hati Ninda yang aku yakin sekarang penuh dengan bunga cinta
pada Fahri. Sungguh menakutkan!
Pada
akhirnya aku mengalah. Kupeluk Fahri saat dia selesai mengucap akad dan sah
meminang putriku. Ada sejuta arti pelukanku. Dan aku rasa Fahri tahu. Dan tatapan
matanya mengisyaratkan bahwa aku tak lagi harus ragu. Percayakan Ninda padaku,
Yah. Mungkin seperti itu bila tatapannya diterjemahkan dalam kata-kata.
“Aku dulu
jelek banget ya? Kurus, kecil, rambut acak-acakan. Ga banget!” Ninda menunjuk
foto dirinya yang masih berkepang dua. Aku tersadar dari lamunan dan tertawa.
Ingin sekali aku bilang bahwa bagiku, dulu, sekarang dan nanti, kau tetap
cantik, Nin. Tapi sayangnya kata-kata itu mampet di tenggorokan. Yang ada aku
malah ikut meledeknya. Fahri juga sebelas dua belas, ikut menggodanya. Dia
meletakkan album foto dan sibuk mengganti channel televisi. Lihatlah betapa
cantiknya dia kalau sedang ngambek! Sekali lagi ingatanku melayang sebulan
setelah putriku resmi menjadi istri orang.
“Papah,
Fahri sudah beli rumah di Jakarta.” Matanya menatapku hati-hati.
“Papah
tahu kan, Ninda ga mungkin jauh-jauhan terus. Fahri di Jakarta dan Ninda di
Semarang.” Aku tahu arah pembicaraan ini. Tiba-tiba aku jadi membenci kata
perpisahan.
“Papah
beneran ga mau ikut Ninda saja tinggal di Jakarta?” Aku menggeleng. Banyak
sekali kenangan di rumah ini. Tak mungkin rasanya kalau harus meninggalkannya.
Dan saat perpisahan ini menyakitkan. Ninda memelukku dan mennangis.
“Ninda
sudah pesen ke Bulik Ratih buat terus nengokin Papah. Mbok Jah juga akan terus
ngurusin keperluan Papah. Kalau ada apa-apa telpon Ninda Pah...” Aku
menggangguk. Ini tentu saja menyakitkan. Mana pernah Ninda pergi lama dari
rumah. Paling lama paling sebulan waktu dia KKN di luar kota dulu. Itu saja aku
bolak-balik menelpon memastikan keadaannya. Dan kini, aku harus siap melepasnya
pergi bersama suaminya ke kehidupannya yang baru. Mataku berair. Segera kuusap
agar Ninda tak boleh melihat Papahnya menangis.
“Jam
berapa pesawatnya Nin?”
“Jam 11
Pah, sengaja ambil yang paling malem. Dari sini ntar jam sepuluh lebih dikit
biar ga kesusu” Kulirik jam di
tembok, pukul 21.30. Masih ada setengah jam. Ya, kebersamaan ini tinggal
setengah jam lagi. Kulihat Ninda sudah sibuk membereskan tas dan beberapa
bungkusan oleh-oleh. Fahri duduk di sebelahku.
“Ayah,
kalau mau ke Jakarta telpon Fahri ya? Nanti Fahri jemput Ayah.”
“Pokoknya
Papah akhir Oktober udah mesti di Jakarta. Ninda maunya Papah nemenin Ninda pas
lahiran nanti. Ga ada tapi-tapian ya Pah. Urusan rumah biar Mbok Jah yang
urus.’” Ninda masih dengan
lipatan-lipatan pakaian sibuk mengultimatumku. Kalau sudah begini aku hanya
bisa mengiyakan kata-katanya. Sedari Ninda kecil aku memang tidak bisa bilang
tidak pada putri kecilku ini. Kecil? Hei lihatlah dia kini sudah siap menjadi
seorang Ibu.
Rumah
kembali sepi setelah Ninda dan Fahri berpamitan pulang. Aku masuk setelah taksi
yang mereka tumpangi hilang di ujung jalan. Ijah sudah pamit pulang tadi jam 9
malam. Suaminya sudah menjemputnya pulang. Tinggal aku dan dinding-dinding
rumah penuh foto Ninda. Dinding-dinding ini jadi obat kangenku pada Ninda.
Kuambil
foto di meja samping tempat tidurku. Foto seorang wanita yang bagiku adalah wanita
paling cantik di dunia.
“Sayang
kau tak sempat melihatnya tumbuh dewasa Sof.” Kembali suasana haru menarikku.
Tak terasa butir-butir bening mengalir dari mataku. Jika sudah sendiri di kamar
aku tak lagi bisa membendung butiran air dari mataku ini.
“Kau
pasti bangga padanya.” Kupejamkan mataku. Ingatan-ingatan masa lalu satu per
satu menghampiriku. Kuliah, lulus dan bekerja dengan penghasilan yang lumayan
sebagai pegawai negeri sipil. Menikah di usia kedua puluh delapan dengan gadis
yang paling kucintai. Membangun keluarga kecil bersamanya. Pindah ke rumah baru.
Menanti kehadiran seorang malaikat kecil di kehidupan kami. Semua itu sangat
membahagiakan.
“Pak,
selamat anda sudah menjadi seorang Ayah.” Dokter itu menyalamiku. Mungkin itu
prosedur atau entah apa tapi selalu begitu yang diucapkan dokter kepada pasien saat
memberikan kabar. Termasuk kabar berikutnya.
“Tapi,
maaf, kami sudah berusaha semampu kami untuk menyelamatkan Ibunya. Tuhan
berkehendak lain. Nyonya Sofia tidak bisa diselamatkan karena pendarahannya
terlalu banyak.” Langitku runtuh malam itu. Bagiku Sofia adalah hidupku. Tapi
kini, Tuhan begitu mudahnya mengambil dia dariku. Aku menangis bahkan sampai
Sofia selesai di makamkan. Sorenya, Ratih, adikku memaksaku menengok bayiku.
Bayi yang dilahirkan Sofia sebelum dia menghembuskan nafas terakhir. Bayi yang aku pikir sebagai penyebab istriku
meninggal.
“Mas Arif, putrimu lucu sekali Mas. Matanya mirip Mbak Sofi. Coba sini
Mas.” Ratih sudah menggeretku mendekat ke box bayi. Aku melihatnya ragu-ragu.
Wajahnya begitu polos, kulitnya masih merah dan bergerak-gerak lemah. Dan
benar, mata bayi mungil ini mirip sekali dengan Sofi. Aku melihatnya menatapku
damai penuh ketenangan. Hari itu aku sadar aku jatuh cinta lagi. Cinta yang
sangat dalam dan dengan sensasi berbeda. Mungkin inilah bentuk cinta orang tua
pada anak. Dan 25 tahun berlalu nyatanya cinta ini tidak berubah sedikitpun.
Ninda tetap membuatku jatuh cinta setiap kali menatapnya.
Dear Papah,
Jangan lupa makan
teratur. Di kulkas ada buah, di makan ya Pah. Jangan tidur malam-malam. Besok
Ninda telpon Papah. Ninda sayang Papah :)
Lihatlah Sof, tidakkah anakmu ini romantis sekali?
3 comments:
Kyaaaaa za... aku terharu bacanya :') baguuus... Ikutan SAUJANA juga ya? Tp kayaknya tadi nggak ada cerpen yg ini di blognya?
eh baru nengok lagi, ternyata emang baru dipublish ya.. hehehe kereeen :D
makasih Ka.. :)
iya Ka ikut Saujana,, kayaknya aku paling telat soalnya td pagi baru sempet bikin sambil ngeprint laporan.. Kebiasaan deadliner ni -.-
ayo Ka, ikutan.. :)
Post a Comment